Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

NAMA Luhut Binsar Pandjaitan pernah dikait-kaitkan oleh pemberitaan media terkait wacana penundaan Pilpres 2024. Bantahan datang dari juru bicaranya. Tapi, melalui sebuah perbincangan podcast, dia membuat pernyataan yang selaras dengan mereka yang mengusung wacana tersebut.

Misalnya, dia menyebutkan wacana itu menggambarkan keinginan warga masyarakat memperpanjang masa jabatan Jokowi. Dia sebutlah wacana itu diambil dari big data, sesuatu yang juga diapungkan sebelumnya oleh Muhaimin Iskandar.

Sayangnya, klaim Luhut bahwa aspirasi itu datang dari 110 juta big data media sosial, “dilibas” banyak pihak. Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit, misalnya, mempertanyakan darimana data itu didapat? Dia yang bergerak sebagai pemerhati media sosial, menyebut hanya 10.852 akun Twitter yang terlibat pembicaraan presiden tiga periode, dan mayoritas menolak.

Yang tak kalah kontroversial, hemat kami, adalah pernyataan Luhut yang menyebut yang risau dengan wacana itu adalah mereka yang ‘ngebet’ jadi capres. “Kan orang sudah takut saja. Orang yang sudah ingin jadi (capres-red) sudah takut, waduh entar ketunda gua jadi’,” katanya.

Sepanjang pengetahuan kita, yang ingin menunda justru mereka yang ngebet jadi capres seperti Airlangga Hartarto atau Muhaimin Iskandar. Kandidat-kandidat lainnya justru tak bersuara. Tak ada suara dari Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, atau Ridwan Kamil, misalnya.

Luhut keliru soal itu. Yang risau bukan kandidat-kandidat potensial itu. Yang khawatir adalah rakyat. Big data yang dia pegang, jelas tak menggambarkan keinginan rakyat.

Pertama, basis big datanya tak jelas. Kedua, hasil survei sejumlah lembaga, sekitar 80% responden tak ingin penundaan Pemilu 2024 sekaligus perpanjangan masa jabatan presiden.

Luhut semestinya juga bisa memahami, bahwa tak ada dasar sama sekali untuk memperpanjang masa jabatan presiden.

Kalaupun ada, itu bukan alasan yang kuat untuk mengamandemen UUD RI 1945. Karena itu, dalam pengamatan kita, alasannya pun bukan untuk kepentingan bangsa, melainkan kepentingan perpanjangan kekuasaan belaka.

Hal aneh lain yang kita lihat adalah tidak adanya ketegasan sikap kenegarawanan Presiden Jokowi. Dia seperti bermain di dua kaki. Padahal, sebagai kepala negara, dia bisa mengambil peran untuk menghentikan wacana tak berguna yang menguras perhatian publik itu. Caranya? Sederhana. Jokowi hanya tinggal bilang begini: “saya akan berhenti pada 20 Oktober 2024, tak mau perpanjangan jabatan, tak mau jadi presiden tiga kali masa jabatan!” Jika Jokowi menegaskan hal itu, maka wacana itu akan padam sepadam-padamnya

Maret 2022