Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

ADA adagium pasaran: kalau maling mengaku, penjara akan penuh. Adagium itu bisa dilanjutkan seperti ini: jika politisi dan pelaku demokrasi kita jujur, maka Mahkamah Konstitusi (MK) mungkin tak diperlukan lagi.

Kenapa begitu? Jika politisi dan penyelenggara demokrasi jujur, maka akan sangat kecil kemungkinan terjadi kecurangan dalam kontestasi demokrasi. Dalam kaitan itu, MK tak diperlukan lagi. Kontestasi demokrasi berjalan langsung, umum, bebas, jujur, dan adil. Produk-produk undang-undang yang dilahirkan politisi di pemerintah dan DPR tak perlu diuji karena semata-mata ditujukan sepenuhnya untuk kemaslahatan orang banyak.

Tetapi, rasa-rasanya mustahil kita menemukan politisi dan penyelenggara demokrasi yang sepenuhnya jujur. Kekuasaan adalah gula-gula yang begitu manis yang membuat mereka harus memburunya, bukan mendapatkan dengan cara yang terhormat.

Apa yang kurang dari kita pada persoalan ini? Kita tak lagi memiliki adab, adat, dan etika jika sudah berbicara soal kekuasaan. Semua dilanggar, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Misalnya, jika saja seluruh calon anggota legislatif di Pemilu lalu menjawab jujur apakah mereka melakukan politik uang atau tidak, kita meyakini yang melakukannya jauh lebih tinggi.

Petitum-petitum yang disampaikan kuasa hukum Prabowo-Sandi di Mahkamah Konstitusi adalah bukti politisi dan penyelenggara demokrasi tak lagi mendasarkan tindakan pada tiga hal itu: adab, adat, dan etika. Itu sebabnya, setiap pesta demokrasi kita, selalu bermasalah. Dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan presiden.

Lalu, apa yang kita dapatkan dari proses politik yang tak jujur, tak berlandaskan adab, adat, dan etika? Ya tak jauh-jauh dari tindakan politik yang ugal-ugalan. Ada, misalnya, wakil rakyat yang malas ke gedung wakil rakyat memenuhi kewajibannya. Ada misalnya pejabat politik yang memanfaatkan jabatan untuk meraup keuntungan pribadi sebesar-besarnya.

Di situlah MK harus tetap ada. Dia tampaknya akan tetap ada sepanjang sejarah republik ini karena politisi kita sudah lama meninggalkan adab, adat, dan etika, dan akan terus meninggalkannya.

Juni 2019