Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Pemilihan Presiden sudah berakhir. Atau, setidaknya tinggal menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi. Kini, perhatian mulai menatap Pilkada Serentak 2020. Mudah-mudahan, pilkada tak seperti Pilpres.

Kenapa begitu? Karena diakui atau tidak, Pilpres terus menggerus persatuan kita. Ada pembelahan yang tajam dalam masyarakat kita secara nasional, terutama berdasarkan pilihan-pilihan. Dan, tak satupun pihak yang mampu menutup pembelahan itu.

Pilkada mungkin tak setajam itu, terutama bila pasangan calon tak hanya dua pasangan yang saling berhadapan. Pilkada membuka peluang bagi banyak politisi untuk ikut serta meskipun pada beberapa kejadian, ada juga yang calonnya hanya dua pasangan, atau bahkan satu pasangan saja.

Ada beberapa hal yang membuat kita yakin, perbedaan di kalangan masyarakat terkait pilkada takkan setajam pilpres. Pertama, pilkada menghadirkan regulasi yang lebih fair bagi pasangan-pasangan yang bertarung. Tak seperti pilpres di mana warga bingung tentang seorang calon petahana, apakah dalam posisi presiden atau calon presiden, pilkada tak mengenal itu. Petahana harus cuti.

Begitu cuti, petahana tak lagi punya kuasa dalam birokrasi, termasuk memanfaatkannya. Setidaknya, secara teknis itu tak bisa dilakukan.

Alasan lain adalah waktu kampanye pilkada yang tak lama seperti pilpres. Waktu yang singkat membuat perbedaan-perbedaan di kalangan pendukung pasangan calon, kalaupun itu ada, takkan sedalam seperti pilpres. Hanya dalam hitungan pekan, masyarakat akan melupakan kembali perbedaan-perbedaan itu.

Keyakinan kita juga disebabkan alasan lainnya. Secara historis, penyelenggaraan pilkada di delapan kabupaten/kota pada 2015 lalu, yakni di Kabupaten Bandung, Cianjur, Indramayu, Karawang, Pangandaran, Sukabumi, Tasikmalaya, dan Kota Depok, juga berlangsung kondusif.

Kita berharap, dan kita yakin, hal serupa juga akan terjadi pada Pilkada Serentak 2020 mendatang. Terlebih, pada pilkada tahun depan itu, beberapa kepala daerah petahana tidak lagi ikut kontestasi. Misalnya di Kabupaten Bandung, Cianjur, atau Indramayu, bupati yang memenangkan pilkada lima tahun lalu, tak ikut serta. Ada yang karena sudah dua kali masa jabatan, ada yang sudah mundur dari panggung politik, dan ada pula yang tersangkut persoalan hukum korupsi. (*)

Juni 2019