Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Jangan salah. Ini bukan tentang Idi Amin, mantan pemimpin Afrika yang pernah terkenal kejam dan diktator itu. Ini soal Idi Amin dari Jakarta Utara.

Idi Amin adalah Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, pada Pemilu lalu. Dia dan sembilan orang lainnya baru saja ditetapkan sebagai tersangka oleh Sentra Gakkumdu Polres Jakarta Utara karena pelanggaran pemilu.

Idi Amin diduga lalai. Karena kelalaiannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil pengitungan suara. Kasus ini dilaporkan calon anggota DPRD DKI asal Partai Demokrat Sulkarnain dan M Iqbal Maulana dari Partai Gerindra.

Ketika penyidik menetapkannya sebagai tersangka, Idi Amin entah di mana. Hanya saja, kalau dia berada di Gedung Mahkamah Konstitusi melihat sidang gugatan PHPU, maka di sanalah makin kuatnya kesimpulan kita bahwa pemilu kita memang bermasalah.

Dalam konteks ini, kita tidak peduli siapa yang memenangkan sidang di MK. Yang kita konsern adalah pemilu kita memang sarat masalah. Itu fakta yang tak terbantahkan. Tak hanya dari Idi Amin, melainkan juga dari kesaksian-kesaksian yang hari-hari ini kita dengar di MK.

Kecurangan terjadi. Kelalaian terjadi. Akibatnya, pada titik tertentu, penyelenggaraan pemilu amburadul. Jauh dari demokrasi yang kita idam-idamkan.

Ironisnya, banyak pula pengamat atau ahli, yang bersikap seolah-olah toleran terhadap hal tersebut. Bagaimana kita mau meningkatkan kualitas demokrasi kalau hal-hal semacam itu kita terima begitu saja, sementara ada pihak-pihak yang diuntungkan dan dirugikan dari kecurangan atau kelalaian seperti itu.

Ini pun jadi pembelajaran bagi penyelenggara pemilu, utamanya KPU RI, untuk tidak lagi sombong seakan-akan pemilu kita paling sukses di dunia. Pernyataan-pernyataan kesuksesan itu, kita maknai sebagai upaya KPU, untuk menutup kesan banyaknya terjadi pelanggaran dan kecurangan dalam proses pemilu.

Perlu kita ingatkan agar KPU tidak merasa “syur” sendiri. Jika itu terjadi, dan KPU tak menyadari kelemahannya, KPU akan jadi “penyelenggara pesta demokrasi yang otoriter”, sama seperti Idi Amin.

Juni 2019