Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

HAL paling mendasar dalam pendidikan itu adalah kejujuran. Menjadi aneh buat kita, jika kejujuran itu justru diabaikan para orang tua. Akan jadi apa putra-putri mereka jika hal mendasar itu tak ditanamkan hanya untuk berebut bangku sekolah? Pendidikan bukanlah soal angka-angka. Angka-angka itu, baik yang tertera pada rapor, pada ijazah, adalah hal yang biasa dibuat atau bahkan “dibuat-buat”. Sebab, dia hanya nilai seketika.

Yang takkan bisa diubah seketika, dan itulah salah satu tujuan pendidikan, adalah kejujuran dan integritas. Tak ada artinya angka yang tinggi-tinggi itu jika tak melambangkan kejujuran dan integritas yang tinggi pula. Hanya akan menghasilkan sampah-sampah.

Tapi, dalam kasus penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang hari ini hasilnya diumumkan, kita melihat betapa kejujuran dan integritas itu menjadi hal nomor sekian. Orang lebih mementingkan angka-angka. Ironisnya, yang mengajarkan justru orang tua anak didik sendiri.

Terjadinya pemalsuan domisili dalam format kartu keluarga adalah bentuk “pelacuran” terhadap kejujuran dan integritas itu. Hanya demi mengejar angka-angka, demi mengejar bangku sekolah –favorit, masih saja orang tua yang “melacurkan” kejujuran dan integritasnya. Menyedihkan karena itu tak hanya dipertontonkan di hadapan anak, tapi juga dengan menjadikan anak sebagai peserta “pelacuran” itu.

Kita mendukung langkah otoritas pendidikan di Jawa Barat, mendiskualifikasi praktik kecurangan itu. Buat kita, tak ada tempat bagi orang-orang tua seperti itu. Sebab, jika sudah mampu mencurangi PPDB, jika sudah tak percaya nilai-nilai, bukan tak mungkin pula nanti akan ada upaya mencurangi angka-angka. Bahaya, bukan hanya buat pendidikan, tapi juga tumbuh kembang generasi mendatang.

Kita paham, sebagai sebuah sistem yang baru, PPDB akan memunculkan masalah. Tapi, masalah yang sepatutnya muncul hanyalah persoalan teknis, bukan persoalan mentalitas seperti kecurangan. Itu persoalan yang tak bisa kita maafkan. Siapapun pelaku kecurangan itu, calon peserta didik, orang tua peserta didik, baik yang biasa-biasa saja hingga ke pejabat sekalipun. (*)

Juni 2019