Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Di Kabupaten Bogor, tepatnya di Desa Cikodom, Kecamatan Rumpin, seorang kepala desa, di depan puluhan orang di sebuah ruangan, menggalang kekuatan memilih pasangan tertentu. Entah siapa yang merekam, faktanya rekaman video berbahasa Sunda itu kini bertebaran di ruang publik.

Ini menambah kian masifnya isu-isu soal keterlibatan aparat dalam penggalangan suara. Sebelumnya, isu serupa juga sempat mencuat di Nusa Tenggara Barat, di mana oknum kepolisian diduga melakukan tindakan yang berpihak pada calon presiden tertentu, dalam hal ini petahana.

Kenapa ini bisa terjadi? Banyak penyebabnya. Tapi, satu yang bisa kita pastikan adalah lemahnya penegakan hukum aturan pemilu. Setidaknya itu kesan yang tertangkap oleh publik atas peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Betapa banyak pengaduan-pengaduan yang masuk ke Bawaslu. Setiap hari mungkin puluhan, bahkan ratusan. Tapi, aduan-aduan yang masuk ke Bawaslu itu kerap lolos begitu saja.

Bawaslu berdalih pada aturan undang-undang: legal formal. Padahal, ada senjata lain yang bisa menjerat. Apa itu? Etika politik, etika hukum. Jadi, biarpun aparat lolos dari jerat hukum formal, setidaknya ada rasa jera ketika etika hukum dan etika politik menderanya.

Tengoklah, betapa banyak pejabat, mulai dari menteri, gubernur, bupati, wali kota, hingga kepala desa, dipanggil Bawaslu. Tapi, rata-rata lolos tanpa merasa bersalah. Padahal, apa yang mereka lakukan setidaknya melanggar etika politik, sesuatu yang tak ada pasalnya di undang-undang.

Tatkala hukum tak memberikan rasa keadilan, maka yang terjadi kemudian adalah pelanggaran-pelanggaran berikutnya. Apa yang dialami kepala desa di Bogor atau Garut, misalnya, takkan terjadi jika mereka berpandangan penegakan hukum kontestasi ini memberi efek jera.

April 2019