Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

BERAPAKAH harga satu kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)? Bowo Sidik Pangarso sudah menjawabnya: kira-kira Rp8 miliar. Apakah harga yang sebegitu tinggi bisa balik modal dengan penghasilan selama lima tahun jadi anggota DPR? Mungkin saja tertutupi. Informasi yang pernah muncul, dalam setahun seorang anggota DPR bisa menerima Rp1,97 miliar. Total lima tahun Rp9,85 miliar. Ya, adalah untung walaupun sikit-sikit.

Tetapi, seseorang menjadi anggota DPR tentulah bukan karena perhitungan untung sikit-sikit itu. Ada yang ingin memperjuangkan konstituennya. Tapi, lebih banyak pula yang bertujuan meraup keuntungan finansial yang lebih besar karena kekuasaan.

Maka, Bowo adalah bagian yang terakhir ini. Kalau hanya untuk mengambil selisih tipis dari investasi Rp8 miliar, buat apa dia melakukannya lewat DPR. Lebih baik tentu dia membenamkan uangnya di pasar modal, di deposito, dan semacamnya.

Bowo tak sendiri. Banyak Bowo-bowo lainnya. Gakkumdu-Bawaslu saja mencatat setidaknya sudah ada 31 kasus politik uang yang mereka tangani. Itu yang terdeteksi. Yang tak terdeteksi jauh berlipat ganda dari itu.

Demokrasi kita sudah rusak, terutama setelah kita memperdagangkan kursi yang idealnya untuk memperjuangkan rakyat. Omong kosong ada yang betul-betul memperjuangkan rakyat jika untuk mendapatkan perahu perjuangan itu pun mereka harus keluar duit yang banyak.

Rakyat kita pun tak kalah rusaknya manakala mereka melihat pesta demokrasi adalah pesta amplop. Dalam himpitan ekonomi, rakyat rupanya ingin menikmati remah-remah demokrasi. Mereka tak sadar, betapa mahal harga yang harus dibayar atas sikap seperti itu.

Tapi, menyalahkan rakyat semata juga tak pada tempatnya. Rakyat sudah hilang pengharapan terhadap wakil-wakil mereka di DPR. Mereka merasa tak mendapat manfaat perjuangan apa-apa. Apalagi, jika sekali waktu melihat wakilnya tertidur di kursi empat dalam ruangan ber-AC di Gedung DPR, atau saat menatap ruang sidang kosong karena wakil mereka pergi entah kemana.

Demokrasi kita bukanlah demokrasi liberal. Tapi, dia demokrasi bebas dan bablas seperti tak beraturan. Di situlah rakyat kehilangan harapan. Dalam kehilangan harapan, rakyat bisa memandang apa saja, sekecil apapun keuntungannya, untuk dimanfaatkan. Termasuk amplop-amplop itu.

April 2019