Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Hari-hari ini, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawal Pemilu, Kementerian Dalam Negeri, dan Komisi II DPR membahas soal kewajiban cuti bagi calon presiden petahana. Langkah serius atau sekadar wacana? Apapun, kita kritik langkah yang super terlambat ini.

Buat kita, kontestasi demokrasi adalah kontestasi kesetaraan. Sudahlah petahana mendapat keuntungan selama hampir lima tahun mengkampanyekan keberhasilan, kini pun dia mendapatkan keistimewaan karena tak wajib cuti. Tak masuk akal dalam kontestasi.

Soal posisi kepala negara dan kepala pemerintahan jadi alasan. Tapi, secara hakikat, apa bedanya sih dengan pilkada yang diikuti petahana kepala daerah dan kepala pemerintahan? Buat kita nyaris sama saja secara hakikat.

Tidak hanya menguntungkan petahana, tak adanya kewajiban cuti itu juga merugikan publik. Masyarakat tidak tahu apakah kedatangan petahana ke sebuah lokasi, misalnya, dalam kapasitas presiden atau calon presiden? Semuanya dibikin abu-abu. Dalam sehari, di lokasi yang sama, seorang calon bisa bertindak sebagai presiden dan 15 menit kemudian jadi calon presiden. Sebuah ironi demokrasi buat kita.

Semestinya, KPU sebagai penyelenggara pemilu dan pemerintah, sudah mengatur hal-hal semacam ini jauh-jauh hari. Apa saja kerja KPU dengan komisioner yang mendapatkan penghasilan besar dan pemerintah dengan otoritas tertentu itu jika untuk urusan yang semacam ini saja lalai? Jika kini KPU dan pemerintah “sok serius” menyiapkan aturannya, maka bagi publik ini hanya dianggap sebagai candaan belaka. Ibarat pesilat, KPU dan pemerintah baru ingat jurus andalannya ketika pertarungan sudah selesai. Tak ada gunanya, setidaknya untuk pertarungan saat ini.

Kalaupun aturan soal cuti kampanye ini bisa dihasilkan, maka itu hanya akan bermanfaat untuk Pilpres lima tahun ke depan. Mungkin masih ada sedikit manfaatnya, tetapi publik menilai KPU dan pemerintah tidak sungguh-sungguh menjadikan Pemilu dan Pilpres 2019 ini sebagai sebuah kontestasi yang fair, jujur, dan adil.

April 2019