Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Sudahlah para politisi, berhentilah mempolitisi ideologi Pancasila dan NKRI. Itu sudah harga mati. Entah dari kelompok manapun anak negeri ini, Panasila adalah harga mati. Yang perlu dilakukan politisi –terutama yang jadi petinggi-petinggi negeri—adalah mencontohkan laku dan tindak yang Pancasilais, bukan berteriak-teriak tak karuan seperti itu.

Yang kita lihat akhir-akhir ini, seolah-olah ada politisi yang paling Pancasilais. Padahal, rerata orang yang Pancasilais itu, adalah orang yang tak memiliki kepentingan politik apa-apa kecuali hidup di dalam negeri yang tenteram, aman, apalagi sejahtera. Mereka hidup di bawah naungan Pancasila dan tak merasa paling Pancasilais. Mereka tak merasa seakan-akan lebih Pancasilais, lebih NKRI, dibanding tetangga-tetangga sebelah rumah mereka.

Karena apa? Karena Pancasila itu bukan untuk diteriak-teriakkan. Pancasila itu untuk dilakukan, untuk jadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Karena namanya pedoman berwarga negara, semestinya tak boleh ada yang mengklaim dirinya lebih Pancasilais dibanding yang lainnya, yang belum tentu benar juga adanya.

Buat kita, aneh saja misalnya, ada politisi yang berteriak-teriak merasa diri paling Pancasilais, tetapi tiba-tiba menilap hak rakyat. Ada yang merasa paling Pancasilais dan paling NKRI, tiba-tiba ditetapkan tersangka kasus korupsi oleh KPK, misalnya. Konyol bukan? Karena itu, biarkanlah Pancasila berada pada posisinya yang terhormat, landasan dalam kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak menjadi alat kegiatan politik kontestasi. Sebab, Pancasila dilahirkan memang bukan untuk itu. Dia lahir untuk menata kehidupan kita.

Atas fungsinya sebagai dasar negara, landasan berpijak dan bertindak, yang dibutuhkan adalah bagaimana kita menjadikan makna-makna luhur dalam setiap sila itu dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, bagaimana kita menghargai perbedaan pendapat dalam koridor budaya demokrasi Pancasila, adalah lebih penting ketimbang membusukkan lawan politik dengan menyebut mereka sebagai pengganggu Pancasila, umpamanya. Bagaimana, misalnya, kita menjadikan keadilan yang setara bagi setiap warga negara.

Kadang-kadang, rakyat gerah juga, politisi begitu rajin berteriak dan merasa paling Pancasila, tapi ketika punya kewajiban menghadiri rapat nasib menyangkut masyarakat di gedung wakil rakyat, mereka bolos. Padahal, rakyat menyisihkan pajak, menggaji mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban itu.

Lebih dari itu, teriakan-teriakan seolah-olah paling Pancasilais dari politisi, kian membuat masyarakat menjadi terbelah. Sebab, seolah-olah hanya politisi dan kelompok mereka itu yang paham dan menjalankan Pancasila, yang lain tidak.

Biarkanlah Pancasila dalam kedudukannya yang amat terhormat di negeri ini. Tak usah lagi menggunakan jargon-jargon seperti “saya Pancasila, saya NKRI” karena kecenderungannya yang membelah masyarakat. Padahal, bahkan begitu lahir, siapapun di negeri ini, maka dia haruslah seorang yang berpayung dalam Pancasila dan menjunjung Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tak ada yang patut merasa memiliki Pancasila atau NKRI melebihi warga negara lain. Sebab, baik Pancasila maupun NKRI adalah milik kita bersama, landasan berpijak kita bersama-sama. Dia ada untuk menjadi pedoman sehari-hari dalam kenegaraan kita. Bukan sekadar untuk diteriak-teriakan, tapi untuk diimplementasikan dalam kehidupan kita.

April 2019