Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

BAGAIMANAKAH cara kita memandang Mahkamah Agung? Tentu, kebanyakan tergantung pada kepentingan masing-masing. Satu yang harus dimaklumi adalah keputusan MA tidak akan pernah memuaskan semua orang.

Beberapa hari lalu, MA jadi sasaran kecaman. Itu karena keputusannya membebaskan Syafruddin A Tumenggung, mantan Kepala BPPN dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat negeri sedang terpuruk.

Banyak yang mengkritik MA. Bahkan, dalam narasi yang cenderung kasar dan tendensius. Misalnya, integritas hakim agung meragukan sejak Artijo Alkostar sudah tak di MA lagi. Susah bagi kita jika keadilan kemudian disamakan dengan Artidjo.

Entah apapun keputusan MA, maka satu hal yang harus kita lakukan adalah menerimanya. Bahwa, jika kemudian di belakang keputusan itu ada permainan-permainan busuk, itu soal kedua. Harus diusut.

Sebab, hakim-hakim MA itu manusia biasa. Hanya, kadang kita yang kelewatan menyebut mereka sebagai ‘wakil Tuhan’. Kebablasan karena tak sedikit hakim-hakim kita yang memang bermasalah.

Tapi, masalah kita mungkin tak hanya di MA. Terbukti di pengadilan di bawahnya, di lingkup kejaksaan, tak sedikit orang-orangnya yang jauh dari posisi ‘wakil Tuhan’. Bahkan, jika kita mau jujur, orang-orang yang duduk di lembaga seperti KPK pun bukankah sudah terbukti tidak juga suci? Antasari Azhar dan Abraham Samad, misalnya, pernah bermasalah hukum.

Keadilan publik menjadi penting dalam penegakan hukum. Tapi, dia bukan yang paling penting. Yang paling penting adalah keadilan material.

Maka, misalnya, hakim agung MA sudah memberikan bukti, misalnya, dengan menjatuhkan vonis 11 tahun terhadap predator anak-anak asal Kabupaten Bogor. Mereka menerima kasasi jaksa penuntut dan membatalkan vonis bebas di tingkat Pengadilan Negeri Cibinong.

Jika kemudian kita berprasangka bahwa banyak hakim-hakim yang mempermainkan hukum, apakah hakim agung yang menangani kasus predator Bogor itu tak patut kita percaya? Keputusannya linier dengan keputusan MA sebelumnya yang menjatuhkan sanksi dan hukuman terhadap tiga hakim PN Cibinong yang membebaskan tersangka pencabul anak-anak itu.

Jadi, bagaimana sebaiknya kita memandang MA? Ya, harus kita percayai kecuali kita sampai pada satu titik otentik: bahwa tak ada lagi hakim agung di MA itu yang betul-betul layak diagungkan. (*)

Juli 2019