Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Patut kita bersedih, Sekretaris Daerah Jawa Barat, Iwa Karniwa, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi atau suap yang terkait dengan proses perizinan Meikarta. Apa yang dialami Iwa, sekali lagi, membenarkan berkali-kali pernyataan di kolom kecil ini, soal kekuasaan.

Sebagai aparatur sipil negara (ASN), harus kita akui, Iwa figur yang berprestasi. Salah satu jasa besarnya adalah mengantarkan Pemprov Jabar meraih opini wajar tanpa kecualian (WTP) dari BPK untuk pertama kalinya, delapan tahun lalu. Karena prestasinya, Iwa jadi ASN dengan jabatan tertinggi di Pemprov Jabar.

Menjelang Pilgub Jabar 2018 lalu, dia mengincar slot calon usungan PDI Perjuangan. Baliho yang diduga didanai dari pemberian pengembang Meikarta melalui sejumlah pihak di Pemkab Bekasi itulah yang membuatnya ditetapkan sebagai tersangka.

Peristiwa yang menimpa Iwa, sepatutnya menjadi pelajaran berharga bagi ASN-ASN yang kini mulai mengincar posisi calon kepala daerah di pilkada tahun depan. Ingatlah, bahwa kekuasaan itu, bukan sesuatu yang harus direbut. Dia akan menjadi lurus bisa didapatkan dari amanah.

Terdengar naif, tapi begitulah kepemimpinan sejati itu. Pemimpin itu bukan dipantas-pantaskan, tetapi memang pantas dilekatkan pada seseorang. Dia bukan hanya jadi pilihan, tapi harus pula jadi panutan. Pemimpin yang ada sekarang, yang lahir dari kontestasi demokrasi, sangat sedikit yang jadi panutan. Itu karena dia direbut, bukan diserahkan masyarakat.

Pemimpin yang lahir dari amanah masyarakat, takkan takut kehilangan tongkat kepemimpinannya. Bung Hatta telah mengajarkan kepada kita bagaimana dia menanggalkan kursi wakil presiden karena kepemimpinan yang jalan sudah menyimpang dari amanah. Pelajaran kontradiktif juga ditunjukkan kepala daerah pemburu kekuasaan yang kini berurusan dengan kasus korupsi.

Iwa –meski belum terbukti bersalah menerima gratifikasi atau suap—tapi sudah menunjukkan contoh terakhir itu: pemimpin yang memburu kuasa. Karena kekuasaan menjadi “dewa”, maka dia pun terjerembab dalam proses mencari kuasa itu.

Kekuasaan yang benar itu, sekali lagi, kita tegaskan berasal dari amanah. Dia tak datang dari syahwat yang tinggi. (*)

Juli 2019