Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

PASAR itu bisa diciptakan, tapi tak bisa dipaksakan. Dia mengikuti pakemnya: ketersediaan dan kebutuhan. Hal-hal di luar itu tak lain adalah bedak dan gincu pasar.

Itu yang kini dihadapi entitas bisnis besar: Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kertajati, Majalengka. Betapapun pemerintah setengah memaksa meramaikan bandara anyar itu, faktanya pasar yang menentukan.

Maskapai Citilink, salah satu perusahaan penerbangan pertama yang membuka jalur di BIJB Kertajati, memangkas rutenya. Mereka sebut untuk sementara. Tak ada juga kejelasan kapan rute-rute tersebut akan dibuka kembali. Bisa sebulan, dua, tiga, atau siapa tahu bisa pula setahun.

Ketiga rute tersebut adalah Kertajati-Denpasar, Kertajati-Palembang, dan Kertajati-Kualanamu (Medan). Hukum dasar ekonomi membuat Citilink mengambil langkah tersebut: kebutuhannya tak tinggi. Tingkat keterisian (load factor) rendah.

Kabar tersebut tentu merupakan pukulan bagi BIJB Kertajati, termasuk Pemprov Jabar, inisiator BIJB. Kabar itu datang, ironisnya, bersamaan dengan informasi ketertarikan perusahaan internasional seperti Swire Group berinvestasi di Kertajati. Informasi itu muncul saat Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil berkunjung ke Inggris.

Apa yang salah? Hemat kami, sedikitnya ada dua hal. Pertama, BIJB memang belum sepenuhnya siap sebagai bandara yang utuh. Salah satu faktor pendukung kekurangsiapan itu adalah infrastruktur menuju BIJB yang masih memberatkan.

Satu-satunya obat untuk mengatasi masalah ini adalah percepatan pembangunan Jalan Tol Cisumdawu. Persoalannya, pemerintah terlalu lelet untuk membereskan persoalan ganti rugi lahan. Oh iya, maksudnya ganti untung, seperti yang digembar-gemborkan pemerintah.

Persoalan kedua adalah masyarakat Jawa Barat tidak merasakan BIJB sebagai milik mereka. Rasa cinta terhadap BIJB Kertajati terasa masih sangat kurang. Padahal, BIJB ini adalah bandara yang seharusnya membuat masyarakat Tanah Pasundan bangga. Bayangkan, misalnya, jika BIJB itu seperti Persib.

Dalam konteks inilah, Pemprov Jabar harus bekerja lebih keras lagi. Tak cukup hanya dengan melakukan pendekatan elitis –seperti yang sekarang terjadi, melainkan juga pendekatan kultural. Tak perlu wira-wiri ke luar negeri dulu, tapi bagaimana menumbuhkan cinta masyarakat Jabar sebagai salah satu pemangku kepentingan BIJB Kertajati. (*)

Juli 2019