Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Haruskah kita terkejut dengan pertemuan Joko Widodo dan Prabowo Subianto di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu itu? Mungkin banyak yang kaget. Tapi, kami tidak.

Jika dada Prabowo dibelah, maka sejatinya korsa prajuritnya jauh lebih tinggi dibanding jiwa politiknya. Bahkan, dibanding sejumlah seniornya yang terjun ke politik, terlihat langkah-langkah politik Prabowo, sejatinya lebih gampang ditakar.

Sebab apa? Sebab, jiwa prajurit lebih menguasai dirinya. Itu sebabnya, dalam debat-debat capres, baik di Pilpres 2014 maupun 2019, sesungguhnya tak ada kejutan-kejutan yang dilakukan Prabowo sebagai politisi. Dia cenderung lurus dan datar. Normatif.

Bagi prajurit sejati, urusan bangsa berada jauh di atas kepentingan-kepentingan personal. Itu sebabnya, begitu Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatannya, dia menilai persoalan sudah selesai. Kalaupun menit-menit setelah keputusan MK dibacakan dia bilang akan berkonsultasi dengan penasihat hukumnya, bisalah kita baca itu sebagai penunda agar pendukungnya tidak kecewa terlalu dalam.

Jiwa prajurit adalah jiwa yang dipenuhi semangat sportivitas, fair play, jujur, mengakui kemenangan dan kekalahan. Karena itu, misalnya, ketika kalah pada Pilpres 2014, dia ikut menghadiri pelantikan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden di DPR. Jarang-jarang orang berjiwa besar mengakui kekalahan dan menghormati pemenang seperti itu. Yang lain, bahkan ada yang menyimpan dendam seumur hidup.

Sikap Prabowo adalah sikap yang patut ditiru anak bangsa. Percayalah, tak banyak figur-figur yang seperti itu lagi. Jika ada yang menyebut itu sebagai sikap negarawan, dalam rentang tertentu, tidaklah keliru.

Apa yang akan dilakukan Prabowo setelah pertemuan itu pun sebenarnya tak sulit ditebak. Rasanya, jika mengikuti naluri Prabowo, yang terjadi pada pertemuan itu hanyalah rekonsiliasi, bukan reposisi. Gerindra, partai yang dia pimpin, tak usah khawatir, akan berada pada garis oposisi.

Maka, bagi politisi, baik yang berada pada kubu Koalisi Indonesia Adil Makmur maupun Koalisi Indonesia Kerja, termasuk pendukungnya di akar rumput, sikap Prabowo patut diteladani. Begitulah demokrasi. Ada yang kalah, ada yang menang. Yang kurang dalam demokrasi kita adalah mengakui kemenangan lawan. (*)

Juli 2019