Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

DALAM beberapa kebijakannya, Gubernur Ridwan Kamil, mencoba menoleh ke desa. Langkah yang tidak keliru. Sebab, desa suatu ketika yang akan jadi backbone kehidupan masyarakat kita.

Perhatian terhadap desa itu antara lain terlihat ketika rencana pembentukan daerah otonomi baru (DOB), baik level provinsi maupun kabupaten, mentok pada aturan bernama moratorium. Berkali-kali, Emil memandang lebih baik melakukan pemekaran terhadap desa-desa.

Jawa Barat sendiri termasuk provinsi dengan desa yang banyak. Ada 5.312 desa. Tapi, masih kalah misalnya dibandingkan dengan Jawa Tengah (7.809), Jawa Timur (7,724), Aceh (6.497), bahkan Sumatera Utara (5.417).

Ada kesan, rencana pemekaran desa, salah satunya adalah untuk membawa dana dari pusat ke Jawa Barat lebih banyak. Selain dana desa (DD), ada pula dana alokasi desa (DAD), atau dana alokasi khusus (DAK) yang bisa terserap.

Tapi, hemat kita, pemekaran desa bukan semata-mata karena itu. Tujuannya justru lebih mulia dari itu. Apa itu? Ya, itu tadi, menjadikan desa sebagai tulang punggung kemajuan Jawa Barat.

Patut sebenarnya kita bersyukur, Jawa Barat memiliki gubernur yang progresif. Maka, pembangunan desa di Jabar tidak lagi melulu hanya soal infrastruktur. Pembangunannya harus menuju kepada kemampuan ekonomi desa yang lebih baik. Kondisi itu, selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, juga meredam arus urbanisasi ke kota.

Sejumlah program yang dikembangkan, patut kita apresiasi. Mulai dari satu desa satu perusahaan, patriot desa, desa digital, pusat digital desa, internet desa, dan tentu saja pengembangan badan usaha milik desa (Bumdes).

Program terakhir ini, pengembangan Bumdes, sejatinya sangat memberi harapan jika dikelola dengan baik. Jabar kaya dengan segala potensi. Sumber daya alam, sumber daya manusia, memenuhi syarat agar usaha-usaha di pedesaan itu maju pesat. Dukungan teknologi digital akan mendorong semua itu.

Tetapi, semuanya, tentu harus mendapat pengawalan dengan baik. Kalau perlu, secara ketat. Sebab, budaya pedesaan harus disesuaikan dengan kebiasaan kota yang lebih ligat, lincah, dan sangat mampu menyesuaikan diri. Petinggi desa harus disadarkan tidak lagi jadi raja-raja kecil, melainkan pemimpin dan pengabdi rakyat.

Kenapa sampai kita bilang begitu? Masih banyak desa yang tak ligat memanfaatkan peluang. Fakta bahwa hingga November baru 64% anggaran dana desa terealisasikan, adalah salah satu contohnya. Hal itu tak boleh terjadi lagi. (*)

Desember 2019