Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

TEKNOLOGI itu alat. Dia tak punya hati, tak punya rasa. Dalam hubungan antarmanusia, sentuhan itu menjadi sesuatu yang sulit dinilai.

Pun program sapawarga yang kini sedang dikembangkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Itu program bagus. Menjadi jembatan antarwarga, warga dengan pemerintah. Supercepat, superkilat.

Dengan sekali sentuh, warga, dalam hal ini ketua rukun warga, bisa saling berkomunikasi. Ini memperpendek jarak, meringkas waktu. Bisa mengintegrasikan segala rupa, terutama hal-hal yang menyangkut layanan publik.

Begitulah adanya teknologi informasi. Dia harus diikuti bukan soal ketinggalan era atau tidak, melainkan memang sangat membantu dalam kehidupan manusia.

Karena ini digagas dan rancang bangunnya dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, maka yang paling utama terhubung adalah warga dan pemerintah provinsi. Ada baiknya, transformasi digital semacam ini pun dikembangkan atau digabungkan dengan daerah-daerah secara intensif.

Semua pihak akan saling memetik manfaat. Warga, pemerintahan kabupaten/kota, hingga pemerintahan provinsi. Ada komunikasi dua arah, antara pemimpin dan yang dipimpin. Tentu, terbuka pula ruang untuk memberi masukan, atau bahkan kritik mendasar terhadap kebijakan publik. Maka, semua harus diterima. Ada manfaat, ada eksesnya. Sepanjang itu dilakukan dengan niat baik, tak perlu ada yang ‘baper’.

Tetapi, sekali lagi, karena alat tidak punya hati, tidak punya rasa; sapawarga hanya akan mengatasi sebagian persoalan. Ada yang tak bisa sepenuhnya dia tuntaskan, yakni relasi jiwa antara pemimpin dan warga, atau antarwarga.

Dalam konteks ini, belum ada teknologi yang mampu menggantikan rasa dan cita. Dia harus dilakukan pemimpin-warga, atau warga-warga, dengan sentuhan langsung. Tidak bisa diwakili alat, seberapapun canggih teknologinya.

Alat hanya menjadi penghubung pemimpin-warga atau antarwarga. Sementara pada soal-soal yang lebih memiliki nilai emosional, kemanusiaan, cita dan rasa, maka ada kalanya yang lebih dibutuhkan justru sentuhan warga.

Tentu, kita berharap, program komunikasi itu tak berhenti sampai di situ. Sapawarga perlu dilanjutkan dengan sentuhan warga. Sebab, itulah hakikatnya relasi antar manusia, apapun kedudukannya, apapun jabatannya. (*)

Desember 2019