Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang syarat mantan terpidana korupsi maju pada pilkada harus kita sambut dengan apresiasi. Tak ada wilayah di negeri ini yang berkehendak dipimpin orang yang pernah melukai dan menggarong negeri dan warganya sendiri.

Majelis konstitusi, pada keputusannya, atas uji materi yang dilakukan ICW dan Perludem itu, menyatakan terpidana korupsi baru bisa mencalonkan diri setelah lima tahun bebas dari hukuman. ICW dan Perludem sebelumnya memintakan rentang waktu 10 tahun.

Kita tidak hendak membantah, bahwa setiap warga negara memiliki hak politik yang setara: mencalonkan atau dicalonkan. Tapi, harus kita gunakan pula akal budi, bagaimana mungkin sebuah kabupaten/kota/provinsi dipimpin oleh orang-orang yang pernah menjadi “pengkhianat rakyat”, mereka yang mencuri uang rakyat untuk kepentingan pribadi.

Siapapun yang meloloskan pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada itu, hemat kita, sudah kehilangan akal budi itu. Kita paham, karena mereka adalah orang-orang yang hanya peduli pada kekuasaan, peduli pada kolega-kolega, sehingga mengabaikan rasa keadilan masyarakat.

Kita paham, mantan koruptor ketika selesai menjalankan hukumannya, kembali menjadi rakyat biasa. Kita pun harus bisa menerima kehadiran mereka sebagai manusia layaknya. Tapi, buat kita, begitu mereka sudah terbukti mencederai janji-janjinya, apalagi menelikung rakyat, maka semestinya mereka tak layak lagi jadi pemimpin rakyat. Tak layak dipercaya. Itu esensinya.

Kenapa kita berkeinginan merintanginya, karena sistem demokrasi kita masih jauh panggang dari api. Rakyat, dengan ilmu, dengan tingkat kesejahteraan, dengan kebutuhan seperti sekarang, masih bisa diperdaya politisi-politisi lewat janji-janji palsu dan politik uang. Itu memungkinkan orang-orang yang pernah menipu rakyat berpeluang kembali jadi pemimpin.

Itu sebabnya, kita mengapresiasi keputusan MK itu, meski menurut kita semestinya larangan itu permanen, sebagaimana penjahat narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Tak apalah, lima tahun juga cukup untuk mengikis pengaruh politik –mungkin juga modal—mantan koruptor itu.

Maka, sekarang menjadi tugas penyelenggara pilkada, dalam hal ini KPU, untuk mengubah aturan-aturan yang ada di PKPU menyangkut calon dari mantan terpidana korupsi ini. Harus bergegas karena partai-partai kini sedang menyisir kandidat-kandidat yang hendak diusung di Pilkada 2020. (*)

Desember 2019