Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Politik dinasti itu boleh. Tak ada yang melarang. Tapi, tidak elok, apalagi jika dipaksakan.

Menjelang pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, ihwal politik dinasti ini kembali mengemuka. Sejumlah orang yang selama ini jauh dari hiruk-pikuk politik, tiba-tiba hendak mencalonkan diri.

Belakangan, persoalan ini menjadi ramai karena dua di antaranya adalah orang yang dekat dengan Presiden Joko Widodo. Keduanya adalah putra Jokowi, Gibran Rakabuming dan menantunya, Bobby Nasution. Gibran mau maju di Pilwalkot Solo, sedangkan Bobby di Medan.

Adakah yang bisa melarang? Kecuali masyarakat pemilih, tidak. Undang-undang juga tidak. Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sempat melarang dinasti politik, tapi kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Secara konstitusi dan regulasi, selesai persoalan. Tapi, tidak secara etika politik. Dinasti politik tidak elok dilakukan jika persyaratan utama tak terpenuhi. Apa itu, kapasitas dan kapabilitas politisi itu sendiri. Kalau itu yang terjadi, maka itulah dinasti politik yang dipaksakan.

Misalnya, tentu keliru dan tak elok mencalonkan Gibran hanya karena dia putra Presiden Jokowi. Atau, dalam kondisi riil sekarang, apakah ada parpol yang akan mengusungnya jika dia bukan putra presiden? Hal serupa juga berlaku bagi putra-putri, istri-suami gubernur, bupati, wali kota, yang hendak ikut kontestasi demokrasi tahun depan itu.

Kenapa? Karena memimpin wilayah itu dibutuhkan kapasitas dan kapabilitas. Tak cukup dengan nama besar orang tua, suami, atau istri. Jika yang terakhir ini terjadi, maka nanti akan muncul istilah gubernur, bupati, wali kota bayangan. Tidak baik untuk kehidupan politik dan demokrasi.

Beberapa contoh buruk sudah ada di hadapan kita. Ada anak gubernur yang kemudian jadi gubernur, berujung di penjara. Ada istri bupati/wali kota yang kemudian menjadi bupati/wali kota, juga berakhir di penjara.

Politik dinasti juga akan mengurangi ruang bagi kader-kader partai politik untuk menunjukkan kualitas kepemimpinannya. Tak sedikit kader yang kecewa kalah bersaing dengan orang-orang yang mengandalkan nama besar orang tua, suami, atau istri pesaingnya.

Jadi? Buat kita, sepanjang dinasti politik itu dibarengi dengan kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan, tak ada masalah. Yang jadi masalah, jika kekuatan politik sang calon hanya mengandalkan kebesaran keluarganya. (*)

Desember 2019