Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Belakangan, informasi awal yang dibuka Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), memang cukup mengejutkan. Ada beberapa kepala daerah yang tercium menyimpan atau mentransaksikan keuangan di kasino-kasino yang ada di luar negeri.

Sejauh ini, informasi yang disampaikan PPATK memang belum utuh. Misalnya, apakah uang yang disimpan itu adalah uang kepala daerah atau uang daerah. Jika uang daerah, angka Rp50 miliar yang disebut PPATK tentu hanya sedikit jika dibandingkan APBD daerah manapun.

Tapi, apakah uang daerah atau uang kepala daerah, menempatkan dana di kasino luar negeri, tentulah tidak elok. Terlebih, pemerintah sendiri terus berupaya mengembalikan dana-dana tidur di luar negeri itu ke Indonesia.

Pernah sekali waktu Presiden Joko Widodo menyampaikan pernyataan untuk mengembalikan dana-dana orang berduit itu. Beragam program pun dilakukan agar duit itu kembali ke Tanah Air. Itu dilakukan karena dalam kondisi ekonomi yang belum stabil, negara ini membutuhkan dana-dana yang segar dan bisa diinvestasikan.

Maka, jika ada kepala daerah yang sengaja menyimpan dananya di luar negeri, apalagi di sebuah kasino, tentu saja ini mengecewakan. Apalagi, jika kemudian patut pula diduga, bahwa dana-dana tersebut adalah hasil patgulipat yang kemudian dicuci di luar negeri.

Karena ini baru indikasi awal, tentu kita tak bisa bersyakwasangka berlebihan. Perlu kita tunggu penelisikan yang lebih dalam dari PPATK. Dalam hal ini, kita sepakat, agar PPATK pun menjelaskan lebih terbuka soal penciuman mereka terhadap penempatan dana pejabat di luar negeri ini.

Kita hanya memberi peringatan, betapa jika perilaku semacam ini benar, maka ini akan menjadi “pengkhianatan” berikutnya dari beberapa kepala daerah. Kita tahu, kepala daerah menjadi salah satu figur yang paling sering berurusan dengan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar di antara mereka yang berurusan itu, terbukti melakukan korupsi.

Di tengah tahun politik menuju Pilkada Serentak 2020, ulah kepala daerah itu –sekali lagi jika terbukti benar—maka hanya akan membuat publik kian malas memilih calon kepala daerah. Untuk apa memilih jika kemudian sang kepala daerah hanya memikirkan kepentingan sendiri, kelompok, bukan mengatasi persoalan masyarakat ramai di wilayahnya. (*)

Desember 2019