Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

BETUL kata Buya Syafii Maarif. Bangsa ini kehilangan negarawan. Salah satu ciri negarawan itu adalah bertanggung jawab, tak menepuk dada, dan tak mau menimpakan kesalahan kepada orang lain.

Hiruk pikuk soal kerugian Asuransi Jiwasraya membuktikan kepada kita betapa bangsa ini kehilangan sosok negarawan itu. Yang terjadi adalah saling menyalahkan. Tak seorang pun pemimpin negara, sebagai pemilik saham terbesar Jiwasraya, terkesan hendak memikul tanggung jawab.

Misalnya begini, Presiden Joko Widodo menyebutkan persoalan Jiwasraya sudah muncul 10 tahun terakhir. Sekonyong-konyong, Partai Demokrat merasa tersodok. Sebab, 10 tahun lalu, pemimpin negara ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono.

Betulkah? Ada benarnya. Said Didu, mantan Sesmen BUMN, menyebutkan Jiwasraya mengalami kerugian akibat dampak krisis 1998. Tapi, sejak 2009, Jiwasraya sudah sehat. Puncaknya pada 2016, di era Presiden Jokowi, Jiwasraya meraup keuntungan triliun rupiah. OJK pun membenarkan Jiwasraya pernah meraup laba Rp1,6 triliun.

Salah satu yang mengangkat Jiwasraya justru Hari Prasetyo, Direktur Keuangan (2008-2018) yang kemudian ditarik ke Istana melalui KSP. Dia mampu mendongkrak nilai aset Jiwasraya dari Rp4 triliun jadi Rp40 tiliun lebih.

Tapi, pangkal persoalan –sekarang—juga muncul di era ini. Salah satunya, produk JV Saving Plan (2014-2018) yang mengakibatkan kerugian pada perusahaan dan nasabah. Juga penempatan investasi reksadana senilai Rp14,9 triliun yang hampir semua dikelola manajer investasi yang berkinerja buruk. Sejak itu, Jiwasraya kembali terpuruk.

Jelas. Jernih. Betul ada persoalan Jiwasraya 10 tahun lalu –sesungguhnya 13 tahun lalu. Tapi sudah membaik dan sehat. Persoalan Jiwasraya sekarang mulai muncul lagi pada akhir 2013, ketika JV Saving Plan yang gagal itu. Juga pada investasi reksadana yang jebol itu.

Presiden Jokowi menyebut masalah Jiwasraya sudah muncul 10 tahun lalu. Saat itu, SBY, Ketua DPP Partai Demokrat saat ini, yang jadi presiden. Wajar kalau kader Demokrat baper, seolah-olah tersudut dengan pernyataan itu.

Sebaik-baiknya, Demokrat tak perlu baper. Tapi, tentu yang paling baik kalau Presiden Jokowi tak menyebut rentang waktu yang menyulut pandangan berbeda itu. Sebaik-baiknya, Presiden Jokowi fokus saja pada penyelamatan BUMN ini ke depannya, menyampaikan langkah-langkah penyelamatan jitu.

Sebab apa? Sebab, seperti kata Buya Syafii Maarif, kita telah kehilangan negarawan. Pemimpin kita ada yang baper, ada yang kerjanya marah-marah melulu, ada yang ceplas-ceplos tanpa berpikir panjang, dan nyaris tak ada yang mau menerima jadi orang yang dipersalahkan, yang memikul tanggung jawab. (*)

Desember 2019