Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Hari hari ini, diskursus yang cukup ramai diperbincangkan publik adalah soal Pemilihan Wali Kota Solo. Menarik karena putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, ikut mengejar tiket pencalonan.

Salahkah Gibran mencalonkan diri? Tidak. Setidaknya, begitu kata undang-undang. Semua orang memiliki hak untuk memilih dan dipilih, kecuali yang dinyatakan sebaliknya oleh undang-undang.

Tapi, politik yang baik, sebenarnya bukan persoalan aturan dan regulasi saja. Di sana juga ada etika. Itulah yang membuat politik itu indah. Soal etika, rasanya sulit membenarkan pencalonan Gibran ini patut dilakukan.

Pertama, tentu karena ayahnya, Joko Widodo, saat ini masih menjabat Presiden RI. Sulit membantahkan posisi Jokowi tak akan ikut memainkan peran dalam pencalonan ini, langsung atau tidak langsung. Di era reformasi ini, rasa-rasanya tak pernah ada putra-putri presiden berkuasa yang ikut dalam kontestasi pilkada. Itu karena mereka tak mau dicap nepotisme politik.

Etika lainnya yang tercederai adalah Gibran pemain sangat baru di panggung politik. Kartu keanggotaannya di PDI Perjuangan baru didapat saat hendak menyampaikan niat mencalonkan diri. Banyak kader partai setempat yang sudah berkeringat, berjuang, punya potensi; gagal mencalonkan diri bukan karena kapasitas, melainkan hanya karena lawannya adalah Gibran yang anak presiden.

Karena baru juga jadi anggota, maka PDIP potensial mencederai aturan yang sudah mereka buat untuk pencalonan pilkada kali ini. Salah satunya adalah soal pasal calon dari kader harus jadi anggota setidaknya tiga tahun terakhir.

Publik melihat, sejumlah politisi PDIP mulai mencari jalan untuk melicinkan jalan Gibran menuju Pilwalkot Solo. Caranya? Menyatakan bahwa calon akan ditentukan dan jadi hak prerogatif Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

Buat kita, prerogatif itu hanya bisa dilakukan dalam keadaan mendesak. Dalam pencalonan Gibran, situasi yang dihadapi PDIP tidaklah genting. Gibran bukan kader terbaik PDIP Solo, atau setidaknya belum bisa diukur karena kesertaannya dalam politik baru dalam hitungan minggu. Jika tidak dalam keadaan mendesak, maka Megawati sepatutnya tetap memilih berdasarkan aturan yang sudah dibuat.

Jika kemudian PDIP tetap bersikukuh mencalonkan Gibran, kita meyakini akan memunculkan suasana hati yang tak enak pada tokoh lainnya. PDIP boleh mengklaim kadernya memiliki militansi yang tinggi. Tapi, bukankah batu yang keras, jika dicucuri tetesan air hujan setiap hari, akan terlobangi juga? (*)

Desember 2019