Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Rasanya, tak ada lagi warga Kota Bandung yang pernah bertemu WR Soepratman. Pria itu dalam usia 20-an tahun –kira-kira dekade 1920-an—tinggal di Bandung dan menjadi wartawan harian Kaoem Moeda.

Kita mengenal Soepratman dari buku dan foto. Wajahnya selalu serius. Tapi, jika dia masih hidup, mungkin dia akan tersenyum simpul mendengar ini: pemerintah mengimbau lagu Indonesia Raya yang dia ciptakan diperdengarkan di gedung bioksop sebelum diputar.

Kita tebak-tebak, dia mungkin tak senang. Bisa saja dia bicara seperti ini: “Edaaan.” Sejak kecil, kita sudah diajarkan menghormati Indonesia Raya, lagu kebangsaan ciptaan Soepratman. Setiap Senin kita nyanyikan. Kita kumandangkan di tempat-tempat terhormat. Karena lagu itu pantas dihormati. Lagu yang menyatukan Nusantara.

Indonesia Raya itu lagu kebangsaan. Tak seperti lagu pop atau dangdut pantura. Rasa kebangsaan kita menyuarakan lagu itu tak boleh dinyanyikan di sembarang tempat. Gedung bioskop bukan tempatnya.

Karena itu, kita menilai imbauan Kemenpora yang sempat mencuat kita pandang sebagai imbauan yang bodoh. Tidak melihat proses lahirnya Indonesia Raya dan penetapannya sebagai lagu kebangsaan.

Kita bersyukur imbauan itu kemudian dicabut. Kalau tidak, kita khawatir jangan-jangan nanti lagu kebangsaan itu malah jadi lagu pembuka gedung diskotek. Kan repot jadinya.

Kita paham maksudnya untuk meningkatkan rasa kebangsaan. Tetapi, tak adakah cara yang lebih baik mendongkrak nilai kebangsaan? Cara yang lebih baik kita usulkan kepada Kemenpora: mengawali seluruh rapat apapun dengan menyanyikan Indonesia Raya. Itu lebih terhormat. Supaya nasionalismenya meningkat dan tak ada lagi oknum-oknumnya yang bermain dengan anggaran.

Kalau itu bisa dilakukan –mungkin juga di kementerian lain—bukan hanya kita yang salut, Wage Rudolf Soepratman pun mungkin bisa tersenyum –tidak dimpul—di alam kuburnya.

Februari 2019