Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Isu soal ‘Ahok menggantikan Maruf Amin’ di tengah jalan, sama seperti isu kardus Rp500 miliar Sandiaga Uno, adalah bukti betapa calon presiden saat ini tak mendapatkan pendamping yang ideal dalam wacana publik. Sejarah yang akan menguji sejauh mana wacana itu terbukti.

Baik Maruf maupun Sandi bukanlah figur utama yang mencuat ketika koalisi Joko Widodo maupun Prabowo Subianto menyiapkan cawapresnya. Pergulatannya bahkan begitu melelahkan, mendebarkan, dan penuh “saling tikam kepentingan”.

Dalam sebuah acara diskusi di televisi, Mahfud MD yang pernah disebut-sebut sebagai kandidat kuat pendamping Jokowi, menggambarkan betapa a lot dan “menyedihkannya” saat penetapan terjadi. Dalam gambaran itu, publik mendapat gambaran betapa Mahfud ditelikung pada saat-saat terakhir.

Sandi pun bukan kandidat yang sering disebut-sebut koalisi Prabowo. Ada nama dari PKS, Partai Demokrat, dan PAN. Beda dengan koalisi Jokowi, Prabowo meredamnya karena dia memiliki kekuatan sebagai ketua umum parpol. Toh, tetap saja muncul isu kardus Rp500 miliar.

Maruf, sebagaimana Sandi, cawapres yang “kebetulan” dipilih. Sandi yang sempat diragukan, kini sudah menjawab dengan kerja politik yang tak kenal lelah. Secara politik, tak ada lagi yang meragukannya.

Tinggal Maruf yang harus memberi jawaban atas keraguan publik. Itu yang belum didapatkan publik. Saat debat perdana, misalnya, Maruf tampak lebih banyak pasif sehingga memunculkan pertanyaan publik.

Maruf tentu punya keterbatasan. Betapapun dia menyebut usianya belum tua, tapi publik melihatnya lain. Makanya, ketika batuk flu saja, publik bisa menduga macam-macam terhadap kondisi kesehatan Maruf.

Dalam kondisi seperti itu, tentu wajar saja jika publik menduga-duga, kalaupun nanti memenangkan Pilpres, apakah Maruf akan bisa menyelesaikan tugasnya. Itu sebuah wanaca yang wajar. Yang tak wajar tentu mendahuluinya dengan menyebut nama, misalnya.

Februari 2019