Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

KPID Jawa Barat bikin geger. Mereka membatasi pemutaran sejumlah lagu di radio dan televisi. Patut kita bela, bahkan kita dorong untuk lebih giat melakukan pengawasan lagi.

Rata-rata penyerang KPID adalah musisi dan penikmat kebebasan. Seorang musisi, bahkan langsung menentang, begitu kabar tersebut beredar melalui media sosial. Malah ada pula yang mengaitkan dengan RUU Permusikan dan harus dilawan! Ada yang menuding kebijakan KPID melanggar HAM. Hak asasi, jika dia melanggar asasi orang lain, bukan lagi HAM. Hak hidup, jika melanggar hidup orang lain, bukan lagi HAM.

Kenapa kita dukung KPID? Setidaknya karena dua hal. Pertama, mereka adalah polisi ruang publik bernama informasi yang terkait frekuensi. Pemilik izin pengguna frekuensi tak boleh semena-mena, karena dia hanya menggunakan, bukan pemilik. Pemiliknya adalah rakyat.

KPID berhak menyemprot siapapun pelanggar pemanfaatan frekuensi publik itu. Mereka berhak membatasi frekuensi publik digunakan untuk hal-hal yang melanggar.

Jika syair-syair 17 lagu berbahasa Inggris itu mereka nilai adalah tidak pantas disiarkan secara bebas kepada publik, mereka punya hak melarang atau membatasi. Apa yang salah? Mereka menilai 17 lagu-lagu tersebut vulgar, seronok, dan bahkan menjurus ke syair seksual, berdasarkan pandangan sejumlah ahli.

Wajar jika mereka membatasi, bahkan melarang sekalipun. Ingat, radio, televisi, tak sama dengan kanal Youtube atau produk sejenisnya. Sifatnya terbuka dan karena itu perlu diawasi.

Kita bahkan mendorong KPID Jawa Barat untuk tidak sekadar membatasi jam dengar atau tayang 17 lagu itu saja. Kita yakin seyakin-yakinnya, tak sedikit lirik dan syair lagu, termasuk syair lagu-lagu musisi kita, apapun genre-nya, ada juga yang merugikan kuping publik sehingga harus juga diteliti KPID dan diperlakukan sama.

Tidak hanya syair, bahkan klip-klip seronok dan vulgar yang bisa merusak moral publik, kita sarankan juga untuk dikaji. Sekali lagi, karena frekuensi yang dipakai pemilik radio atau televisi, adalah milik publik dan karena itu tak pada tempatnya merusak publik.

Februari 2019