Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Joko Driyono itu orang baik. Atau, setidaknya orang baik ketika pertama kali bersentuhan dengan sepak bola. Jika dia dijadikan tersangka dalam kasus match fixing, maka hanya ada dua kemungkinannya: dia lalai atau dia tak kuasa menahan pengaruh kanan-kiri.

Jokdri, begitu dia biasa disebut, pertama kali memasuki sepak bola (baca: PSSI) melalui Pelita Jaya. Dia meninggalkan statusnya sebagai eksekutif PT Krakatau Steel dan mengurus Pelita Jaya Krakatau Steel ketika kedua entitas itu bersatu membangun klub.

Ketika Pelita Jaya berpisah dengan Krakatau Steel, Jokdri merapat ke PSSI. Dia jadi salah satu harapan. Dia membangun reputasi dengan kredibilitasnya. Dari PT Liga Indonesia hingga masuk ke jajaran pengurus harian PSSI. Kalau bukan karena kredibilitas itu, mustahil dia punya modal untuk maju dalam kontestasi pemilihan ketua umum PSSI.

Tapi, PSSI itu kandang segala macam orang. Ada orang baik, tapi tak sedikit pula para petualang yang kebetulan menyukai bola. Mereka memanfaatkan PSSI bukan untuk berbuat sesuatu, tapi mengeruk sesuatu. Nama-nama yang sudah jadi tersangka kasus match fixing itu hanyalah sebagian petualang. Petualang lainnya masih beredar di markas PSSI. Kita tunggu, apakah akan jadi tersangka atau tidak.

Salah satu kelemahan Jokdri adalah karena dia tak punya kekuatan. Dia bukan pengusaha yang disegani yang bisa membungkam para petualang itu. Dia juga bukan tokoh negara –sipil atau militer—yang sanggup menentukan arah organisasi dengan jari telunjuknya.

Maka, kuat dugaan, para petualang itu memanfaatkan kelemahan Jokdri itu. Bagaimanapun juga, orang baik jika dikelilingi bad boys tak banyak yang bisa selamat. Jokdri pun tidak.

Maka, menarik menanti jika kasus ini terbuka ke publik. Tapi, kita mempercayai, jika pun Jokdri melakukan kesalahan yang disangkakan, dia melakukan karena dua hal itu: lalai atau terpengaruh kanan kiri oleh kekuatan jahat di PSSI.

Februari 2019