Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Kian hari, kasus dugaan korupsi perizinan proyek Meikarta kian menarik saja. Dia potensial melahirkan kasus-kasus lainnya. Tidak hanya pidana korupsi, juga pidana umum.

Saat ini, misalnya, mulai tercium adanya dugaan kesaksian palsu di ruang sidang. Ini bisa jadi kasus lain, pidana umum dengan menggunakan pasal 242 ayat (1) KUHP. Bisa menerpa siapa saja yang tak jujur dalam keterangannya.

Kasus lainnya? Potensial juga muncul kasus penggelapan. Ini menyangkut pasal 372 KUHP. Bisa terancam hukuman maksimal empat tahun.

Kenapa penggelapan? Karena uang Rp1 miliar yang disebut-sebut dari pengembang Meikarta melalui tangan-tangan pejabat Pemkab Bekasi, tak ketahuan juntrungannya. Yang jelas, alirannya kira-kira (diduga) dari Meikarta-pejabat Pemkab Bekasi-Sulaiman-Waras Wasisto-Iwa Karniwa.

Jika Iwa dalam persidangan membantah menerima, baik dalam bentuk banner maupun uang, tentu ada rantai yang putus. Padahal, uang tersebut oleh sejumlah saksi, memang dimaksudkan untuk keuntungannya, membantu proses penjaringan kandidat calon gubernur Jawa Barat dari PDI Perjuangan.

Di mana uang itu tertahan? Hanya akan ketahuan dari kejujuran pihak-pihak yang disebut dalam mata rantai itu. Tidak dalam rangka menghakimi, kita meyakini bahwa uang itu ada. Yang jadi soal, di mana berhentinya uang tersebut? Kasus Meikarta yang sudah menempatkan sembilan orang dalam posisi tersangka –sebagian sudah terdakwa--, kita yakini melibatkan banyak pihak lain. Karena itu, gerak cepat penyidik dibutuhkan untuk membongkarnya.

Kita paham, ini bukan kasus ringan. KPK sendiri menyebutkan kasus ini mungkin takkan selesai sampai akhir tahun ini mengingat mekarnya kasus ini. Tak soal, yang penting kejahatan seperti ini harus terbongkar, tersapu oleh aturan-aturan hukum.

Sebab, kita tak hendak negeri ini tergadai oleh aparatur-aparatur koruptif dan pengusaha-pengusaha tamak. Kita ingin semua ini diluruskan.

Februari 2019