Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

SATU hal kita sepakat: mendirikan sudut baca di Taman Saparua, pasti dilandasi niat dan cita-cita yang mulia. Persoalan yang diungkit sejumlah pihak soal penamaan pun kita sepakat, berlebihan. Seolah-olah urusan literasi tak ada yang menandingi Dilan.

Padahal, banyak yang lebih bermanfaat dibanding Dilan di Jawa Barat, soal literasi. Salah satunya Dian Sopiandi. Dia memang bukan anak milenial. Tinggalnya pun jauh dari kota, di pelosok Cianjur, dekat ke Cianjur Selatan.

Soal literasi, Dilan tak ada apa-apanya dibanding Dian. Dian lulusan UIN Bandung. Sekarang mengambil S2 di sebuah perguruan tinggi swasta. Selain jadi guru honorer, hampir tiap hari dia keliling kampungnya dengan sepeda motor membawa buku-buku. Jadi perpustakaan keliling. Modalnya, ya dari honor guru. Teranyar, dia bikin perpustakaan di atas mobil elf jurusan Cianjur-Bandung. “Risikonya buku hilang. Tapi tak apa-apa, saya ikhlas saja,” kata anak muda itu.

Sayangnya, Dian bukan generasi milenial. Dia tidak populer. Tapi dia ada, bukan fiktif. Dia punya semangat. Dia ingin berbuat dan sudah melakukannya. Kalau dia tak populer, seperti mutiara di dalam tumpukan abu, jangan salahkan Dian. Salahkan kita.

Kenapa pojok baca itu bukan namanya Pojok Baca Dian? Kita paham, tentu tak menarik kalangan milenial. Lebih menarik minat namanya Pojok Dilan.

Tetapi, patutkah diberi nama Pojok Dilan? Selain karena Dilan tak berbuat banyak buat Jawa Barat, Bandung, dia yang tokoh fiktif itu juga lahir dari budaya populer. Usianya takkan lama. Dalam setahun-dua juga sudah dilupakan orang. Sama seperti produk budaya populer lainnya.

Maka, kembalilah kita kepada budaya kita: berpikir panjang memberi nama. Nama akan dibawa sepanjang masa. Dia tak hanya wangi setahun-dua, setelah itu dilupakan. Dia harus wangi sepanjang pojok itu ada. Kecuali kalau pojok itu hanya dibangun untuk setahun-dua pula.

Februari 2019