Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Ketika masuk ke kontestasi demokrasi seperti Pilpres ini, kebanyakan politisi kehilangan akal sehat. Padahal, akal sehat itulah yang menjaganya dari kebodohan. Aneh buat kita, kenapa kebodohan dipelihara hanya demi kepentingan politik.

Bukan berarti semua orang kehilangan akal sehat. Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, termasuk salah satunya. Meskipun jadi pendukung Joko Widodo-Maruf Amin, dia tak membela kelakuan para camat di Makassar yang bergandengan tangan bersama mantan Gubernur Syahrul Yasin Limpo menyatakan dukungan kepada Jokowi-Maruf dalam sebuah rekaman video.

Akal sehatnya bicara, bukan nafsu kekuasaannya. “Tidak boleh begitu. Kalau ASN, bagi saya tidak boleh. Nah, camat itu ASN,” katanya.

Tapi, banyak yang karena kepentingan politik, kehilangan akal sehat. Wali Kota Makassar terlihat cenderung membela anak buahnya. Dia bilang itu hak pribadi. Hak pribadi bagi ASN adalah memilih dan itu hanya ada di bilik suara. Bukan seperti yang dilakukan camat bersama mantan gubernur.

Ada pula misalnya politisi Golkar Ace Hasan sadzily yang melakukan pembelaan. “Kalau bentuknya bukan ajakan, tapi menunjukkan sikap politik, kenapa harus dipersoalkan?” katanya. Masa politisi sekelas Ace tak paham bahwa ASN bahkan untuk berkomentar dan melakukan like status medsos kandidat pun tak boleh, apalagi menunjukkan sikap seperti para camat itu.

Politik kontestasi, semestinya dihadapi dengan santai saja. Menggunakan akal sehat, budi sehat. Sebab, secara periodek dia akan datang. Kalah atau menang, maka akal dan budi harus tetap terjaga.

Politik, jika tak dilakukan dengan akal sehat, maka yang muncul adalah politik ugal-ugalan. Politik tanpa adab. Sialnya, itulah yang didapatkan publik dari tontonan-tontonan elit politik tak beradab pada kontestasi pilpres saat ini. Hanya demi satu kata: kekuasaan, menggadaikan adab yang mestinya tak boleh dilepastanggalkan.

Februari 2019