Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Apakah karena dia pernah jadi Menteri Sosial sehingga “rasanya” terhadap penderitaan rakyat tinggi? Rasanya tidak juga. Kuat dugaan, itu karena dia punya “rasa”. Sesuatu yang membuatnya jadi bagian dari masyarakatnya.

Kita respek pada perempuan itu. Khofifah Indar Parawansa namanya. Baru beberapa saat dilantik jadi Gubernur Jawa Timur, dia dihadapkan pada persoalan besar. Sebagian wilayahnya dihantam banjir.

Dia tinggalkan “bulan madu” sebagai gubernur baru. Dia naiki perahu karet dan menyambangi warganya pada kesempatan pertama. Dia bawakan makanan instan. Ah, seberapalah harganya makanan instan. Tapi jangan tanya nilainya di tengah warga berkesusahan.

Menjadi pemimpin itu memang perlu rasa, bukan melulu citra. Rasa bisa membentuk citra sepanjang dilakukan dengan jujur. Tapi, citra tidak akan bisa menemukan rasa. Rasa membuat pemimpin tak terpisahkan dari rakyatnya.

Citra tak dibentuk dengan seketika. Dia tak bisa dibentuk oleh kepura-puraan. Dia muncul dari rasa yang lepas. Tak cukup hanya dengan naik becak, berdesak-desakan di gerbong kereta, atau pura-pura jadi sinterklas di tengah masyarakat miskin.

Betapa rasa itu terbukti penting bagi pemimpin tak hanya dicontohkan Khofifah. Tengok juga yang dilakukan pelatih sepak bola Ole Gunnar Solskjaer. Dia bukan siapa-siapa, apalagi dibandingkan Jose Mourinho yang dengan congkak mengaku diri nomor satu; The Special One.

Tapi, dia punya rasa, sesuatu yang tak mungkin dimiliki Mourinho. Betapapun hebatnya Mourinho, dia “dipecat” para pemainnya karena tak punya rasa. Sebaliknya, betapapun Solskjaer bukan pelatih hebat, tapi rasa yang dia miliki membuat nyaman para pemain dan membangkitkan Manchester United.

Itulah kehebatan rasa. Percayalah, pemimpin yang tak punya itu, dia akan berakhir sebagaimana Mourinho terbuang dari Old Trafford. Dia takkan seperti Khofifah yang akan makin dicintai rakyatnya.

Apakah rasa itu? Dia adalah bentuk kepedulian, kebersamaan, kesetaraan, dan sejenisnya. Pemimpin itu bukan siapa-siapa. Dia hanya ditinggikan seranting, didahulukan selangkah. Dia tetap masyarakat biasa, diberi amanah, dan karena itu tak sepatutnya tercerabut dari akar rakyatnya.

Maret 2019