Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Tampaknya satu-persatu partai politik Orde Baru bakal hilang dari percaturan politik nasional. Setelah Partai Demokrasi Indonesia (PDI), maka berikutnya adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tentu bukan karena orde lahirnya, melainkan pada pengelolaannya.

Bahkan sebelum munculnya kasus dugaan suap Romahurmuziy, posisi PPP sejatinya sudah di ujung tanduk. Berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, berat bagi PPP menembus angka parliamintary treshold. Raihan suara PPP diperhitungkan di bawah ambang batas 4%.

Tak sulit menganalisa kenapa elektabilitas PPP terus melorot. Yang sulit, bahkan membutuhkan keajaiban, adalah bagaimana membuat raihan PPP bisa menembus ambang batas di Pemilu kali ini.

Salah satu penyebab runtuhnya elektabiltas PPP tentu karena perpecahan dan lemahnya kepemimpinan parpol. Elit PPP tak menunjukkan sifat-sifat keislamannya ketika terlibat pertempuran memperebutkan posisi pimpinan parpol, terutama seusai Pemilu dan Pilpres lima tahun lalu. Kepemimpinan bukan lagi dipandang sebagai amanah, melainkan semata-mata kekuasaan.

Sialnya, kualitas kepemimpinan di PPP terus melorot. Romahurmuziy bukanlah pemimpin yang kuat. Buktinya, dia tak mampu menyatukan perpecahan yang terjadi di kubu PPP. Hngga saat ini, kekuatan politik PPP masih tetap terbelah.

Persoalan makin berat karena Rommy sendiri tersangkut kasus dugaan korupsi. Bayangkan betapa hancurnya parpol yang terbelah, yang diharapkan menyatukan pun tersangkut kasus yang memalukan. Persoalan makin berat karena hal tersebut terjadi hanya sebulan menjelang pencoblosan.

Maka, kita pun tak tahu, keajaiban apa yang bisa dilakukan Suharso Manoarfa untuk bisa menyelamatkan PPP. Sepertinya, tak ada jalan keluar yang bisa dia lakukan untuk bisa mempertahankan PPP sebagai parpol pengikut Pemilu lima tahun ke depan.

Patut kita sayangkan, betapa satu-satunya parpol yang secara insidental bisa mengancam Partai Golkar di era Orde Baru itu, nantinya akan hilang dari peredaran. Dia tenggelam bukan karena “politik kotor” rezim dan orde, melainkan runtuh karena pengelolaan yang buruk.

Maret 2019