Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Dengan waktu yang tinggal tersisa tiga minggu, sepatutnya anggota DPR periode 2014-2019 fokus saja pada penyelesaian tugas. Bukan menyiapkan tugas untuk DPR periode 2019-2024. Tindakan DPR mengajukan inisiatif revisi UU Nomor 20 tahun 2002 tentang KPK bisa dinilai sebagai “mencuri di tikungan”.

Sejak awal, DPR periode berjalan saat ini, terlihat sekali punya ambisi mengubah UU tentang KPK itu. Pernah mendapatkan perlawanan dari publik sehingga pengajuannya batal, rupanya kini mereka manfaatkan waktu-waktu tersisa untuk meloloskannya.

Apa yang dilakukan DPR, melalui paripurna yang faktualnya hanya dihadiri 77 kepala itu, patutlah kita curigai. Mendadak, tiba-tiba. Jangan-jangan, ada agenda terselubung di baliknya.

Kita sepakat, KPK bukanlah lembaga yang sempurna, diisi oleh para malaikat. Dia memiliki kelemahan di sana-sini juga. Tapi, kehadiran dan dan perannya dalam pemberantasan korupsi masih diperlukan di tengah negeri yang penuh dengan tindakan koruptif ini.

KPK, misalnya, jika kita evaluasi, jauh dari berhasil dalam pencegahan praktik korupsi yang menjadi salah satu tugasnya. Tapi, dalam hal pencegahan ini, KPK tak bisa bekerja sendiri. Jika menyangkut daerah, misalnya, dia juga harus melibatkan inspektur-inspektur di inspektorat, pengawas-pengawas badan pemerintahan.

Ironisnya, tokoh-tokoh sentral dalam praktik korupsi, selain aparat-aparat pemerintahan dan pengusaha, utamanya adalah politisi-politisi. Mereka adalah para kepala daerah, anggota DPRD, hingga anggota DPR. KPK periode ini bahkan memenjarakan Ketua DPR Setya Novanto karena kasus korupsi KTP elektronik dan puluhan atau mungkin seratusan kepala daerah.

Memandang semua itu, maka sebenarnya bisa kita simpulkan, budaya koruptif itu sebenarnya tak hanya ada di pegawai pemerintah, melainkan juga pada kita-kita ini. Bedanya mungkin kalau pegawai pemerintahan punya kesempatan, kita tidak karena kita bukan siapa-siapa. Tapi, ketika kita jadi anggota DPR, DPRD, kepala daerah, atau menteri, keinginan untuk korupsi itu faktanya hampir selalu ada.

Untuk itulah KPK ada. Dia hadir dan diberi keleluasaan yang lebih luas karena korupsi itu penyakit kita semua.

Jadi, kalau rakyat –melalui wakil rakyat—ingin membatasi kewenangan-kewenangan KPK, apakah itu bukan berarti rakyat sesungguhnya ingin nafsu koruptifnya tidak ada yang merintangi, atau minimal mengurangi alat perintangnya? Begitulah kita membaca rencana perubahan UU tentang KPK itu. Karena itu, kita –untuk sementara, sampai bisa mengendalikan nafsu korupsi itu—bersikap melawan segala bentuk yang merintangi efektivitas tugas KPK. (*)

September 2019