Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Sudah dua hari unjuk rasa berlangsung, hampir di seantero Tanah Air. Episentrumnya tetap di Jakarta, terutama Gedung DPR. Situasinya sudah tak normal lagi. Sayang, elit masih bungkam.

Yang cukup merisaukan kita adalah mulai turunnya kelompok pelajar melakukan aksi unjuk rasa. Polisi menyebut pelajar tak tahu untuk apa mereka berunjuk rasa. Kita kok sangsi, masa pelajar sebanyak itu datang dari Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, tak tahu kenapa mereka harus berada di depan Gedung DPR.

Sepanjang Orde Baru dan Orde Reformasi, rasa-rasanya baru kali ini warga setingkat pelajar SMK atau STM ikut unjuk rasa soal negara. Sebelumnya, aksi unjuk rasa hanya diisi mahasiswa atau aktivis.

Biarpun tak semua pelajar yang ada di sekitar Gedung DPR tahu persis untuk apa mereka ada di sana, buat kita ini bukan lagi situasi yang biasa. Ada hal-hal yang luar biasa jika pelajar pun sudah mulai bergerak.

Yang kita sayangkan, sudah dua hari negeri bergelora, dari barat ke timur, dari utara ke selatan, elit kita –utamanya pucuk pimpinannya—masih diam seribu basa. Seolah-olah negeri sedang biasa-biasa saja. Kita sepakat dengan Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto, negara sedang tidak baik.

Belakangan, publik pun melihat RUU ataupun UU yang sudah disahkan baru-baru ini, yang kini diprotes mahasiswa itu, memang bermasalah. Dalam sebuah acara telvisi, pakar hukum Refly Harun menyebutkan salah satu pasal UU KPK yang baru, terkait Dewan Pengawas, memang bermasalah dan cenderung memicu pelemahan sistem bekerja penyidik KPK.

Tetapi, baik pemerintah maupun DPR, bersikap membatu atas temuan-temuan itu. Yang muncul adalah self defensive. Sungguh bukan sebuah perbuatan negarawan sebagaimana mereka layaknya.

Banyak hal yang menuntut elit, dalam hal ini pemegang otoritas tertinggi eksekutif dan legislatif, sudah saatnya muncul di hadapan publik. Menjelaskan seterang-terangnya apa sesungguhnya yang terjadi. Bukan membiarkan aksi-aksi unjuk rasa yang kian meluas.

Sebab, jika mereka masih tetap diam, membatu dalam sikapnya, kita khawatir eskalasi aksi unjuk rasa ini akan terus meluas. Kasihan juga kita melihat aparat kepolisian harus berhadap-hadapan langsung dengan warga.

Elit sepatutnya memberikan pernyataan yang menyejukkan. Menyejukkan bukan berarti mengalah. Tapi, kalaupun itu mengalah, untuk kebaikan negara dan kemaslahatan masyarakat, apakah ada yang salah? Bicaralah. Dengarkanlah suara rakyat. Karena rakyat yang mendelegasikan kekuasaan itu kepada Anda, apakah yang ada di Istana atau di gedung mewah wakil rakyat itu. (*)

September 2019