Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Hampir di seluruh negeri, aksi unjuk rasa, terutama dilakukan mahasiswa, berlangsung hari-hari ini. Mereka menolak sejumlah rancangan undang-undang yang selangkah lagi –sebagian bahkan sudah disahkan—disahkan pemerintah bersama DPR RI.

Tapi, buat kita, yang cukup menarik adalah aksi unjuk rasa yang berlangsung di Solo, atau di Jawa Tengah secara umum. Kenapa menjadi menarik? Karena ini bukti aksi unjuk rasa ini bukan bersifat politik praktis dukung-mendukung. Ini aksi unjuk rasa yang betul-betul murni dari kalangan masyarakat.

Mahasiswa, atau kelompok masyarakat pengunjung rasa, langsung atautidak langsung, berhadapan dengan pemerintahan Joko Widodo. Pasalnya, proses pembuatan rancangan hingga pengesahan undang-undang, adalah domain DPR RI dan pemerintah.

Menarik karena Solo adalah kampung Jokowi. Di Solo pula, Jokowi-Maruf Amin memenangkan 82% suara pada Pilpres lalu. Kini, patut diduga sebagian di antara pemilih tersebut, berhadapan langsung dengan kebijakan pemerintah yang dianggap bertolak belakang dengan masyarakat.

Makanya, penolakan terhadap RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, bahkan juga revisi UU KPK yang sudah disahkan, kita nilai sebagai suara yang betul-betul datang dari masyarakat bawah. Dia bukan aksi yang dimotori pihak-pihak yang berkompetisi di Pilpres, apalagi kalau dikait-kaitkan dengan HTI, kekuatan radikal, dan segala macamnya.

Melalui aksi bertagar #BengawanMelawan pula, mahasiswa Solo meletakkan beban di pundak Jokowi. Apa itu ? Salah satu desakan mereka adalah menolak revisi UU KPK. Soal revisi UU KPK ini, jalan keluarnya cuma dua, salah satunya ada di tangan Jokowi. Mahasiswa menantang apakah Jokowi berani mengeluarkan Perppu untuk membatalkan revisi tersebut.

Pemerintah, dalam hal ini presiden dan DPR, harus menyikapi permintaan mahasiswa Solo, juga tetangganya di Yogyakarta, secara arif. Sebab, sejarah aksi dalam perjalanan bangsa, memberikan makna ada yang tak beres ketika mahasiswa di dua kota itu sudah bergerak. Salah satu pemicu reformasi 1998 adalah juga pergerakan kelompok mahasiswa di Solo dan Yogyakarta.

Pemerintah, tentu, kini berada dalam posisi yang terjepit. Pada satu sisi, pemerintah harus menjaga harmonisasi hubungan dengan parpol-parpol koalisi pemerintah yang mendukung RUU atau revisi UU. Di sisi lain, jika ikut bersama suara-suara politisi itu, pemerintah bisa berhadapan dengan masyarakatnya. (*)

September 2019