Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Jika ingin melihat politisi yang “sebetul-betulnya” politisi, maka lihatlah DPR RI sekarang ini. Lebih banyak yang suka berkoar-koar ketimbang berbuat sesuatu, bahkan untuk memenuhi kewajibannya sekalipun.

Entah kapan dimulai, tapi tren ini sudah terlihat dalam beberapa kali rapatnya. Yang menandatangani daftar hadir banyak, yang ikut rapat hanya “segelintir”.

Rapat Paripurna 9 masa persidangan I tahun sidang 2019-2020, Selasa (17/9) adalah salah satu gambarannya. Paripurna ini, kata pemimpin rapatnya, Fahri Hamzah, dihadiri 289 orang. Sudah 51,6% dari total anggota 560 orang. Kourum.

Tapi, ketika dihitung berdasarkan kepala yang mengikuti sidang, 20 menit setelah paripurna berlangsung, yang terlihat hanya 91 orang. Kemana 198 orang lainnya? Entahlah.

Padahal, paripurna ini penting untuk pengambilan keputusan sejumlah undang-undang. Termasuk revisi UU KPK yang kontroversial itu. Undang-undang yang diperjuangkan DPR dengan segala upaya, dengan alasan-alasan seolah-olah mereka yang peduli dengan nasib KPK.

Kita mengecam keras kelakuan sebagian anggota DPR yang seperti ini. Buat kita, ini menunjukkan mereka tak sungguh-sungguh serius mengurus persoalan bangsa. Mereka hanya bersatu ketika kepentingan mereka terusik.

Kita pun jadi teringat pernyataan Presiden kelima RI, Abdurrahman Wahid. DPR seperti taman kanak-kanak. Kita tambahkan, DPR seperti ABG di sekolah menengah, suka bolos di tengah jam pelajaran.

Apa makna kelakuan mereka ini? Tentu saja, secara legalitas, produk UU atau revisi UU yang mereka putuskan sah sebagai sebuah produk legislasi.

Tetapi, tentu patut kita pertanyakan soal produk undang-undang yang cacat etis dalam proses memutuskannya. Undang-undang yang secara riil di lokasi sidang tidaklah diputuskan dalam kondisi yang sebetul-betulnya kourum.

Jika cara-cara seperti ini sudah lama dan terus akan dilanjutkan, patut kita bercuriga bahwa tak sedikit hal-hal tak beres dalam produk legislasi yang dihasilkan DPR. Dia bukan lahir dari sebuah pergulatan ideologi yang kuat, melainkan –kuat dugaan—demi kepentingan sesaat.

Sepatutnya anggota DPR berubah, memperbaiki diri, menunjukkan integritas, profesionalitas, agar tak lagi jadi bahan olok-olok masyarakat. Sebab, di tangan merekalah, nasib rakyat banyak ditentukan. Tidak boleh main-main. Jangan bikin kepercayaan rakyat terhadap lembaga DPR tergerus sampai titik nadir yang menyedihkan. (*)

September 2019