Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

IBARAT mengambil selembar rambut di tepung, begitulah persoalan upah buruh. Dia harus dikelola dengan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan. Jika tidak, tepung bisa berantakan kemana-mana.

Berantakannya “tepung” di lantai Jawa Barat itu sudah mulai terasa akhir-akhir ini. Sejumlah perusahaan merelokasi industrinya dari Tanah Pasundan, salah satunya karena upah buruh yang tinggi. Sialnya, rata-rata yang mengambil sikap itu adalah industri padat karya, dengan banyak tenaga kerja.

Pertengahan tahun ini, misalnya, beberapa pabrik tekstil di Kabupaten Bogor merencanakan relokasi ke Jawa Tengah. Penyebabnya, upah tenaga kerja di Jawa Tengah lebih masuk jangkauan mereka sebagai bagian dari modal produksi. Peristiwa itu mengancam ribuan orang jadi pengangguran.

Pemerintah, setidaknya hingga tingkat provinsi, demikian hati-hati menetapkan standar upah buruh. Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, baru saja meneken surat penetapan upah minimum provinsi (UMP) Jabar. Naik 8,51% atau Rp141 ribu menjadi Rp1.810.351 untuk tahun 2020.

UMP hanyalah standar awal bagi pemerintah kabupaten/kota menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK). UMK tak boleh lebih rendah dibanding UMP. Di daerah-daerah seperti Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bogor, UMK sudah melambung tinggi, jauh di atas rata-rata UMK kabupaten/kota di Jabar.

Kembali ke upah buruh, ini memang seperti simalakama. Upah naik drastis, industri terancam bangkrut. Upah naik rendah, pekerja yang menggerutu karena makin sulit mencapai kebutuhan layak hidup.

Maka, sebenarnya yang dibutuhkan adalah saling memahami bagi pihak-pihak yang nantinya akan menetapkan UMK. Dalam hal ini adalah penetapan melalui Dewan Pengupahan yang terdiri dari perwakilan pengusaha, buruh, dan pemerintah kabupaten/kota.

Tak boleh ada satu pihak pun yang harus menonjolkan egoisme tinggi, mau menang sendiri. Yang harus dijaga adalah keseimbangan antara kepentingan-kepentingan pihak terkait, terutama antara pengusaha dan pekerja. Menemukan angka yang pas berdasarkan KLH yang sudah disepakati.

Kenapa kita sarankan seperti itu? Di tengah pertumbuhan ekonomi yang tak pernah mencapai target, belum lagi adanya ancaman resesi dalam waktu dekat, siapapun harus bersama-sama menyelamatkan perusahaan sebagai basis untuk memenuhi kebutuhan dasar pekerja. (*)

November 2019