Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Akhir akhir ini, sering sekali pernyataan-pernyataan Presiden Joko Widodo yang kontradiktif dengan keputusan dan kebijakannya. Tidak elok jika hal semacam ini terus-terusan berlangsung.

Teranyar, Presiden Jokowi bicara soal BPJS Kesehatan saat berkunjung ke Subang. Menurutnya, persoalan BPJS terletak pada institusi itu sendiri, bukan pada rumah sakit maupun peserta BPJS.

Sayangnya, jauh-jauh hari, presiden menyampaikan keinginan untuk menaikkan iuran BPJS mandiri. Jika persoalan ada di BPJS, maka sepatutnya masalah itu dituntaskan dulu sebelum melebar kepada menambah beban peserta BPJS. Tapi ya itu, persoalan BPJS sudah dilimpahkan kepada pesertanya. Jangan-jangan, ini obat yang salah kaprah juga nantinya.

Sebelumnya, presiden juga menyatakan komitmen pemberantasan korupsi yang tak bisa ditawar-tawar. Kenyataannya, beberapa kebijakan dan keputusan Jokowi tak selalu sejalan. Sampai sekarang, presiden belum juga mengeluarkan Perppu Undang-Undang Antikorupsi yang didesak banyak kalangan, terutama mahasiswa.

Paling aneh adalah saat Jokowi memberikan grasi untuk terpidana korupsi Annas Maamun, mantan gubernur Riau. Alasannya sederhana, sudah tua, sakit-sakitan, dan alasan kemanusiaan lainnya.

Jokowi mengaku sudah mendapat masukan dari Menko Polhukam dan Mahkamah Agung. Tapi, ternyata masih ada kasus Annas Maamun di KPK yang akan segera disidangkan. Dengan menunjung tinggi asas praduga tak bersalah, ada kemungkinan dia kembali akan divonis penjara.

Lha, lalu untuk apa grasi dengan alasan kemanusiaan itu? Apakah sebelum mengeluarkan grasi tak ada cek dan ricek? Apakah Menko Polhukam dan Mahkamah Agung tak tahu masih ada kasus lain sang terpidana di KPK? Yang juga ramai dikritik masyarakat adalah kebijakan Jokowi yang hendak memangkas birokrasi, tepatnya eselon III dan IV. Di saat bersamaan, kabinet makin gemuk dengan menteri dan wakil menteri. Ditambah pula staf ahli, termasuk kalangan milenial yang seabreg-abreg itu.

Jika presiden pernah meminta untuk tidak banyak-banyak membuat aturan, maka patut pula kita sarankan kepada presiden agar tidak banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan. Tak perlu banyak-banyak. Biarlah sedikit saja, tapi firm, kuat, untuk kemaslahatan masyarakat banyak. Jangan yang memunculkan kontradiksi seperti ini terus karena cenderung bikin gaduh di tataran publik. (*)

November 2019