Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Ini rumus memilih calon pada Pilkada Serentak 2020 mendatang, juga pada kontestasi kepala daerah berikutnya: jangan pilih petahana yang masih main politik uang dan menggunakan birokrasi.

Kenapa begitu? Hampir 99%, mereka adalah kepala daerah yang boleh dibilang gagal. Yang 1% lainnya adalah petahana yang tak percaya diri. Jadi, kalau memilih lagi, sudah pasti hasilnya takkan lebih baik untuk daerah.

Dasarnya sederhana. Petahana adalah kandidat yang memiliki masa kampanye paling lama di antara calon-calon lain. Jika lawannya hanya diberi kesempatan kampanye dalam hitungan minggu, atau satu-dua bulan, maka petahana memiliki masa “kampanye” lima tahun.

Hampir setiap hari dia memiliki kesempatan memoles citranya dengan menjalankan program-program yang bermanfaat bagi masyarakat. Jika masyarakat betul-betul merasakan hasil kerja petahana, mana mungkin mereka berpindah ke lain hati.

Selama lima tahun itu pula, petahana melakukan pendekatan kepada calon pemilih, yakni masyarakat. Tiap hari berkunjung ke sana ke mari bertemu masyarakat, mengobrol, memberi arahan, menyampaikan pidato. Masa dengan begitu popularitas dan elektabilitasnya anjlok? Tetapi, begitulah petahana. Banyak juga di antara mereka yang tak percaya diri setelah lima tahun berbuat. Maka, menjelang pelaksanaan pilkada, dia akan melakukan tindakan aneh-aneh. Merombak susunan pejabat di pemerintahan, memiliki mereka yang berpihak, menyemburkan program pencitraan di masa-masa akhir menjabat sebelum pilkada lagi.

Adakah yang seperti itu? Ada. Banyak malah. Memanfaatkan aparatur sipil negara cukup banyak terjadi. Ini program yang diam-diam. Kelihatan seperti tak ada, padahal sejatinya banyak terjadi. Jika ketahuan, jurus ngeles sudah disiapkan.

Dalam konteks ini, kita menyambut baik upaya Bawaslu Jawa Barat untuk menumpas calon-calon petahana seperti ini. Mereka akan membentuk semacam satgas pemantau isu-isu khusus.

Pertanyaan berikutnya yang harus dijawab Bawaslu adalah apakah setelah membentuk satgas, lalu apa? Berkaca pada Pemilu lalu, terutama Pilpres, Bawaslu tak bisa berbuat banyak memerangkap jawaban “ngeles” dari berbagai pihak. Gubernur, bupati, wali kota seolah-olah hanya kepala pemerintahan, bukan kepala daerah. Seperti karyawan saja, ada jam kerja, ada hari kerja. Camat-camat berpolitik bisa lolos hanya karena saat menyampaikan sikap politik tidak mengenakan kostum camat.

Mudah-mudahan Bawaslu tak seperti itu lagi. Tak terjebak dalam aturan artifisial, melainkan hakikat keadilan berdemokrasi secara sungguh-sungguh. (*)

November 2019