Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Rasanya ingin kita kembali ke era kampanye pilpres. Kalau bisa, setiap saat saja itu terjadi. Sebab apa? Itulah saat di mana kita dininabobokan oleh harapan kosong, bahwa ekonomi kita membaik.

Faktanya tidaklah seperti itu. Ekonomi kita memang sedang berat. Tertatih-tatih, kalau kita tak hendak memakai diksi payah. Pertumbuhan ekonomi yang di kisaran 5% setahun membuat kita serba sulit.

Tak percaya? Simaklah surat Apindo kepada Gubernur Jawa Barat tentang upah buruh. Surat asosiasi pengusaha itu menyatakan ekonomi lagi berat. Tengok pula surat edaran Menteri Tenaga Kerja tentang dua opsi bagi gubernur di Indonesia: wajib menetapkan upah minimum provensi (UMP) dan dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK).

Opsi kedua itu merupakan pilihan yang aneh. Setidaknya, tak pernah terjadi dalam penetapan UMK selama ini. Gubernur, bisanya selalu punya kewajiban menetapkan UMK 40 hari menjelang pergantian tahun.

Bagaimana cara kita membaca “dapat” dalam kalimat tersebut, tentu dapat pula kita kaitkan dengan kondisi ekonomi kini. Artinya, jika ekonomi berjalan sebagaimana biasa, tentulah pilihan opsi pada edaran itu juga berjalan seperti biasanya.

Lalu, kalau “dapat” itu dimaknai sebagai boleh menetapkan dan bisa juga boleh tidak menetapkan, bagaimana dengan nasib ketentuan upah buruh? Apakah negara tidak turun tangan lagi menjadi jembatan antara buruh dan pengusaha terkait soal upah? Dalam hal ini, kita terus saja dipertontonkan sikap yang gamang dari pemerintah terhadap iklim ekonomi, terutama pula terkait investasi. Kita menduga, edaran semacam itu yang bisa diterjemahkan dengan banyak cara, juga adalah cara pemerintah untuk mengamankan investor yang sudah menanamkan modalnya. Agar mereka tak lari.

Tapi, tentu cara-cara semacam itu bukan sesatu yang pasti menyenangkan investor. Sebab, iklim semacam itu, potensial memunculkan gejolak di kalangan buruh. Bila buruh bergerak di luar pekerjaannya, akan mengganggu proses produksi sekaligus investasi.

Situasi ini mengkhawatirkan bagi kita semua. Dari cara dan tindak perilaku pemerintah akhir-akhir ini, mata telanjang publik sudah merasakan kesulitan itu. Tapi pemerintah tak pernah mengakuinya. Padahal, sekarang bukan lagi masa kampanye di mana semua hal harus dicitrakan sebaik mungkin. (*)

November 2019