Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Kita mendukung karyawan RS Al-Ihsan memperjuangkan nasibnya. Tetapi, melakukan aksi dan meninggalkan pasien, harus kita sesalkan. Harus jadi pelajaran berharga bagi mereka.

Secara garis besar, bekerja di rumah sakit bukan sekadar menjalankan profesi atau mencari penghidupan. Ada nilai-nilai kemanusiaan di sana yang harus dijunjung tinggi. Itu sebabnya, dalam beberapa hal, petugas-petugas rumah sakit mendapatkan keistimewaan dalam menjunjung kemanusiaan itu. Bahkan dalam suasana perang sekali pun.

Aksi demonstrasi yang dilakukan karyawan RS Al-Ihsan, Senin (4/11) lalu, melanggar norma-norma kemanusiaan itu. Sebab, seperti diakui, hanya perawat ruang ICU yang bertahan di dalam, sementara perawat ruang rawat jalan ikut dalam aksi tersebut.

Apapun alasannya, itu sudah mengabaikan sebagian hak pasien. Terbukti pula, kemudian tak sedikit warga yang hendak berobat, kemudian terpaksa pulang karena tak terlayani akibat aksi itu. Hal semacam ini tak boleh terjadi kembali.

Tapi, di sisi lain, kita mendukung karyawan untuk memperjuangkan nasibnya. Mungkin caranya yang perlu diperbaiki. Aksi demo tak hanya dihitung dari jumlah massa, tapi juga dari seberapa kuat aksi dan tuntutan disuarakan.

Kenapa kita mendukung karyawan RS Al-Ihsan memperjuangkan nasibnya? Ya, karena banyak yang status mereka kurang jelas. Informasinya, dari 998 orang pekerjanya, hanya 80 orang yang berstatus aparatur sipil negara. Sisanya, non-PNS. Tentu menjadi pertanyaan bagi kita, RS Al-Ihsan ini sebenarnya rumah sakit pelat merah atau rumah sakit swasta? Kita mengimbau agar Pemerintah Provinsi Jawa Barat turun tangan membereskannya. Persoalan-persoalan teknis lainnya, termasuk soal status direktur utamanya yang masih pelaksana tugas, penting. Tapi, rasanya yang lebih penting lagi dari tuntutan karyawan ini adalah soal status mereka.

Perlu kita ingatkan kepada Pemprov Jabar betapa RS Al-Ihsan sangat mendukung dalam pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat di Jawa Barat. Seperti kita ketahui, kerap muncul keluhan karena RS Hasan Sadikin selalu kelebihan pasien, membludak yang datang berobat, sehingga bisa mengurangi kualitas pelayanan. Dalam konteks itulah, RS Al-Ihsan ikut berperan mengurangi bebannya.

Selain itu, yang lebih utama lagi, RS Al-Ihsan adalah milik Pemprov Jawa Barat. Karena itu, Pemprov Jabar juga harus berperan untuk membuat siapapun yang mengabdi di sana, mengabdi dengan tenang.

Kita sarankan, Gubernur Jawa Barat untuk tidak menunda-nunda waktu menyelesaikan persoalan ini. Sebab, selain harus mengabdi pada kemanusiaan, pemerintah juga tak boleh abai terhadap nilai kemanusiaan karyawan rumah sakit. (*)

November 2019