Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Akhirnya, kita pun bisa menebak-nebak, Rakornas Forkopimda yang digelar di Sentul, Kabupaten Bogor, tak lain tak bukan adalah jalan untuk mempermulus investasi. Yang lain-lainnya bisa nomor dua, nomor tiga, tapi yang utama adalah bagaimana menarik investor.

“Kalau ada investasi yang orientasinya ekspor, sudah tutup mata saja, tanda tangan izinnya, secepat-cepatnya,” kata Jokowi di hadapan peserta rakor. Di antara peserta itu, terdapat kepala daerah dan ketua DPRD se-Indonesia.

Kita paham, kehadiran investasi, terutama dari luar negeri, penting untuk mendongkrak ekonomi kita. Jokowi rupanya menyadari, menaikkan pertumbuhan ekonomi tak semudah janji-janji politik, seperti yang dia sampaikan 5-6 tahun lalu.

Tetapi, memberikan karpet emas –bukan lagi karpet merah—untuk investor, sepatutnya dihitung untung-ruginya. Bukan untuk pejabat negara dan politisi, melainkan untuk rakyat.

Jika ingin memberi izin ‘tutup mata’, maka tentu regulasi-regulasi yang ada harus diterabas dulu. Jokowi boleh saja berkilah regulasi terlalu banyak, tapi regulasi turunan, terutama di daerah tingkat dua, juga dibuat dengan landasan ideal yang kuat: untuk kesejahteraan masyarakat.

Salah satunya, misalnya, di sejumlah daerah ada perda tentang kewajiban investor mempekerjakan karyawan lokal sekian persen. Tak ada yang keliru dengan itu. Jangan biarkan masyarakat di sekitar lokasi investasi hanya jadi penonton. Durjana kita kalau membiarkan mereka tak ikut menikmatinya.

Masih terkait soal investasi ini, mencuat rencana menghilangkan analisa mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin mendirikan bangunan (IMB). Kita sependapat dengan anggota DPR dari Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menolak rencana itu karena keliru.

Sudah pasti itu rencana yang keliru. Jika dijalankan, itu hanya akan meninggalkan dosa kita kepada generasi penerus. Kita hanya akan meninggalkan lingkungan yang rusak terhadap anak cucu kita.

Dalam investasi sektor perkebunan dengan orientasi ekspor, misalnya, sangat sering kita mendengar pertikaian warga sekitar dengan investor. Harus kita akui, mungkin ada juga warga yang jahil. Tapi, jangan pula kita menutup mata, di sektor perkebunan, juga pertambangan, sangat banyak investor-investor nakal, bahkan cenderung jahat.

Patut kita memberikan kemudahan-kemudahan kepada investor. Tapi, bukan berarti kita harus membukakan “karpet emas” buat mereka. Mereka bukan hal utama di negeri kita karena Pancasila mengajarkan kepada kita bahwa hal utama itu adalah masyarakat kita sendiri. (*)

November 2019