Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Di bawah rubrik ini, setiap kali surat kabar ini terbit, muncul Inilah Kehidupan. Tulisannya tidaklah terlalu update. Tapi, isinya menyejukkan. Tujuannya pun untuk menata kehidupan. Ditulis oleh KH Abdullah Gymnastiar, hanya perlu waktu 5-10 menit untuk membaca dan menelaahnya.

Kenapa kita sarankan demikian? Karena hari ke hari, kehidupan kita menunjukkan munculnya persoalan yang ruwet. Problem yang muncul karena persoalan hati, persoalan tidak hati-hati, masalah ucapan, ujaran, hingga permainan jari di tuts-tuts gadget.

Kita bayangkan, jika saja seorang Sukmawati Soekarnoputri, wanita yang lahir dari proklamator kita Bung Karno, meluangkan waktu 5-10 menit itu, sangat mungkin persoalan-persoalan yang dia hadapi bisa dieliminir. Jangan bayangkan itu hanya Sukmawati, bayangkan pula kita sebagai sukmawati-sukmawati.

Persoalan kita akhir-akhir ini, ada persoalan hati yang tidak jernih. Menjadi lebih berbahaya jika hati yang tak jernih itu menjadi kotor. Hati yang demikian cenderung menyuarakan hal-hal yang tak pada tempatnya, bahkan cenderung busuk.

Tengoklah misalnya, ada orang yang curiga bahwa musibah yang menimpa penyidik KPK Novel Baswedan adalah sebuah rekayasa. Alangkah busuknya hati yang menuduh. Tak masuk logika kita seseorang mengorbankan panca inderanya hanya untuk sebuah skenario rekayasa.

Sukmawati menghadapi persoalan, mulai dari puisi sampai membanding-bandingkan Nabi Muhammad Saw dengan Soekarno, adalah juga karena tak bisa menahan hati. Jika dia ikut menimbang dan menenggang perasaan pihak lain, terutama kaum Muslim, mungkin dia takkan terjerembab pada persoalan yang sama untuk kedua kalinya.

Pertama-tama, urusan agama dengan segala turunannya, di manapun, tetap sama: sensitif. Itu sebabnya dia masuk dalam kelompok apa yang tergolong SARA itu. Tidak elok untuk dieksplorasi berlebihan, apalagi membanding-bandingkan Nabi dengan umatnya, dalam konteks apapun.

Ini tidak hanya berlaku bagi persoalan yang menyangkut umat Islam, masyarakat terbesar di Indonesia, tapi juga agama-agama lain. Itulah sebabnya kita menjunjung Pancasila, keberagaman yang berlandaskan keadilan sosial itu. Kita harus tenggang rasa. Tipa selira.

Yang bisa kita lakukan adalah bagaimana menjaga hati, menjaga mulut, menjaga tulisan, menjaga sikap, agar tak menyinggung perasaan orang lain. Itulah Pancasila yang sesungguh-sungguhnya itu. Pancasila yang sekarang sering kita umbar ke hadapan publik. Pancasila yang tak hanya milik si A, tapi juga si B, C, D, dan seterusnya.

Jadi, luangkanlah waktu lima menit. Baca, maknai, dan resapilah rubik di bawah ini, Inilah Kehidupan. Mudah-mudahan, dengan begitu, kita menjadi Pancasilais yang sesungguh-sungguhnya. (*)

November 2019