Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Sekali setahun, kita menghadapi bom waktu bernama upah minimum kabupaten/kota (UMK). Dia selalu menjadi bahan perdebatan karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan perusahaan.

Kali ini, ‘bom waktu’ itu lebih berdentang karena Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, mengambil langkah yang tak biasanya. Dia tak mengeluarkan surat keputusan, melainkan surat edaran. Edaran itu membuka peluang diskusi bipartit antara pengusaha dan buruh dengan dua syarat: upah 2020 tak boleh lebih rendang dari upah minimum provinsi dan UMK tahun berjalan.

Kita paham, di tengah ekonomi yang makin sulit, dan bahkan kemungkinan kian sulit dengan ancaman resesi, upah yang memadai menjadi harapan buruh menyambung hidup dan keluarganya. Dalam konteks ini, tentu, buruh menginginkan penghasilan yang layak. Ukurannya norma kehidupan hidup layak (KHL).

Tetapi, di sisi lain, tidak pula bisa kita pungkiri, ekonomi di era ini, juga mendera kalangan pengusaha. Mereka makin kesulitan karena upah yang dalam pikiran mereka tinggi. Sebab, tak memenuhi standar UMK, maka buntut yang dihadapi pengusaha akan sangat panjang.

Itu sebabnya, alih-alih mengakali UMK, pengusaha lebih suka merelokasi industrinya. Pilihan utamanya, wilayah dengan UMK yang terjangkau. Jawa Tengah menjadi pilihan utama.

Tak sedikit industri di Jabar, terutama industri padat karya, sudah pindah ke Jawa Tengah. Tak sedikit pula yang sedang mengambil ancang-ancang. Buntutnya apa? Pengangguran akan semakin tinggi.

Maka, jalan tengah perlu diambil di tengah rezim UMK yang awut-awutan. Kenapa kita bilang awut-awutan? Kita bisa menerima UMK di Karawang, misalnya, lebih tinggi dari Kota Banjar. Tapi, jika UMK Karawang bisa dua kali lipat UMK di Banjar, buat kita ini hal aneh. Seberapa tinggikah disparitas KHL dua kabupaten di Jawa Barat itu sehingga perbedaan UMK-nya begitu menjulang? Jalan tengah itu, mungkin saja, bisa bernama SE tersebut. Solusi menang-menangnya, bisa saja kesepakatan kedua pihak, buruh dan pengusaha. Sebab, kita tidak pula bisa menafikan, di tengah sebagian buruh yang berharap kenaikan upah, tak sedikit pula yang berkeinginan agar bisa tetap mendapatkan pekerjaan.

Itu sebabnya, kita tak perlu harus selalu berburuk sangka pada rezim SE UMK. Harus kita timbang-timbang seluruh manfaat dan mudaratnya. Jika kita memandang manfaatnya lebih banyak, setidaknya secara kuantitas, kenapa harus alergi dengan SE? (*)

November 2019