Haluan dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Beberapa daerah di Sumbar kerap dihadapkan dengan ancaman banjir, terutama di musim penghujan ini termasuk longsor. Masih jelas dalam ingatan kita baru-baru ini, Solok Selatan dan Agam jadi sasaran, selain daerah lainnya. Puluhan hektar tananam pertanian rusak akibatnya dan banyak lagi yang rusak.

Khusus untuk Kota Padang, sedikit beruntung. Banjir besar Maret 2016 lalu tak berulang di saat musim penghujan ini di penghujung tahun hingga saat ini. Pada saat bersamaan, sejak ancaman tsunami menghantui ibukota provinsi ini, pe¬merintah begitu perhatian. Jalan evakuasi disiapkan. Bangunan penampungan sementara dibangun, hingga ada pula rencana membangun dinding laut.

Ancaman itu, kian mengkristal seiring mengemukanya prediksi banyak pakar yang menyebut ranah nan den cinto ini punya potensi serupa dengan Aceh. Bahkan ada pula yang menyebut, potensi gempa di Sumbar yang berpusat di Samudera Hindia, lepas pantai Kepulauan Mentawai, lebih besar dari gempa Aceh.

Terlepas dari keberagaman ide yang lahir dari ancaman, langkah-langkah kongkrit untuk antisipasi bencana sudah ditampakkan oleh penguasa. Jalur-jalur evakuasi dikebut, kendati masih membuat kendaraan menyemut, pengerjaan bangunan fisik yang tinggi agar tak panik nanti, dan hingga simulasi untuk pelajar diperbanyak membuat buah hati semarak.

Selain antisipasi, penanganan pascabencana gempa dan tsunamipun disiapkan. Ancang-ancang jalan By Pass dijadikan landasan pesawat pun pernah dimunculkan saat BIM lumpuh dan porak poranda akibat gempa tsunami. Pusat posko bencana hingga helipad disiapkan dimana-mana.

Namun, saat kesibukkan terpusat pada antisipasi bencana gempa dan tsunami, ancaman lain justru datang. Mengejutkan bahkan. Dalam lelap puluhan ribu warga disentakkan dengan banjir yang datang tiba-tiba. Dalam tempo singkat, banjir meninggi. Ketakutan muncul. Air meluncur deras ke bawah ke pemukiman warga, khususnya di Kecamatan Koto Tangah. Bahkan, ada orang tua yang punya momongan pasrah, kendati sebagian masih ada yang bisa berusaha untuk mencari tempat yang lebih tinggi di tengah guyuran hujan dan derasnya air bah.

Mereka seperti bingung. Mau apa jika air makin tinggi. Bagaimana jika air terkendali. Beda dengan gempa dan tsunami. Sebagian warga, terutama mereka yang menetap di zona merah, sudah paham dengan langkah yang harus mereka ambil. Tak perlu panik lari ke arah Timur Kota Padang. Cukup keluar dari bangunan/rumah tempat mereka berada saat gempa. Lalu, jika gedung sekitar yang tinggi yang tak rusak, minimal tak runtuh, maka ke sanalah mereka dan keluarga menyelamatkan diri. Belum lagi kini bermunculan banyak shelter di berbagai penjuru kota, terutama di zona merah.

Penanganan yang terstruktur dan terintergrasi dengan baik perlu dikembangkan, sekurang-kurangnya tak jauh berbeda dengan penanganan ancaman gempa dan tsunami. Karenanya, jangan sampai bencana banjir yang justru menghantui warga setiap saat seiring perubahan tata ruang di Padang, teranaktirikan.

Desember 2019