Haluan dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini dijadikan tameng terakhir dalam pemberantasan korupsi belum cukup mencegah niat banyak kalangan menghentikan budaya menyimpang tersebut.

Beberapa waktu lalu, public dikejutkan dengan penangkapan puluhan anggota DPRD Kota Malang.

Sepertinya harapan ini kepada KPK dari sejumlah pengiat anti korupsi yang menganggap, pemberantasan korupsi jalan di tempat di tangan institusi kejaksaan dan kepolisian belum kesampaian.

Padahal, mimpi itu sudah ditindaklanjuti dengan lahirnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) hingga ke daerah. Pengadilan umum dianggap tak ampuh menjerat korupsi.

Sejak dilahirkan, KPK memang menunjukkan taringnya sebagai lembaga anti rasuah. Sejumlah pejabat Negara, mulai dari kepala dinas, bupati, walikota, gubernur, anggota DPR, mantan menteri hingga setingkat pejabat tinggi Negara seperti Ketua DPD RI, dijebloskan ke bui.

Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menjadi senjata ampuh KPK, sangat ditakuti sejumlah petinggi republik ini, termasuk kalangan politisi. Tak terhitung jumlahnya anggota DPR RI dari berbagai fraksi yang telah ditangkap KPK.

Karena itu, perlawanan demi perlawanan terhadap KPK secata sistematis mulai dikobarkan. Dengan berbagai cara, berbagai dalih dan berbagai strategi.

Upaya pelemahan KPK agar tak lagi bertaji, terus dirembesi. Termasuk peluncuran Hak Angket terhadap rencana Revisi Undang Undang tentang KPK.

Hak angket, dianggap menghalangi upaya pemberantasan korupsi. Padahal, dunai berharap Indonesia semakin serius dalam membernatas korupsi. Karena begitu tingginya angka korupsi di Indonesia.

Meski sebenarnya, KPK sendiri mempunyai keterbatasan mengjangkau pelaku korupsi pejabat Negara dari Sabang sampai Merauke.

Korupsi terjadi karena pejabat Negara tak tahan lapar. Terbiasa hidup bergelimang kemewahan dari uang Negara.

Kehadiran KPK dianggap sebagai penghalang cita-citanya menilep uang Negara tersebut. Padahal, gaji dan tunjangan yang diterimanya secara resmi dari Negara, sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk bermewah bersama keluarganya.

Tapi nafsu keserakahan mengalahkan segalanya.

Lihat Bung Hatta. Pada 1950-an, Bally adalah merek sepatu mewah. Bung Hatta, yang waktu itu seorang wakil presiden, berniat membelinya. Ia menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya. Kemudian ia menabung untuk mewujudkan keinginannya. Nyatanya, tabungannya tidak pernah cukup untuk membeli sepatu idaman itu.

Uang tabungannya tergerus oleh keperluan rumah tangga atau untuk membantu orang-orang yang datang kepadanya guna meminta bantuan.

Keinginan Bung Hatta membeli sepasang sepatu Bally tak pernah kesampaian hingga akhir hayatnya. Guntingan iklan itu saja yang masih tersimpan dengan baik.

Sebagai Presiden, Jokowi sangat diharapkan untuk pencegahan dan pengawasan hingga ke daerah-daerah.

Karena presiden yang menguasai birokrasi dari pusat sampai daerah. Dari Sabang sampai Merauke.

Desember 2019