Haluan dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Suhu politik yang kian panas di masa Pilkada di Sumbar bisa saja menguras tenaga seperti yang terjadi pada Pemilu silam. Beragam cara berpolitik dilakukan para kandidat kepala daerah untuk meraup suara. Ada yang berkelakuan positif, tak sedikit pula yang berkampanye dengan cara kotor. Cara-cara tidak beretika dan jauh dari nilai-nilai orang timur.

Dulu, jauh sebelum teknologi berkembang pesat, dan internet merambah negeri ini, pertarungan politik tak terlalu panas. Namun, dewasa sekarang, situasinya berbeda. Kehadiran media sosial menambah rumit perjalanan alek demokrasi dan seperti mempermudah arus kampanye hitam mengalir ke tengah publik. Beragam informasi, dalam lingkup kampanye negatif dihembuskan kalangan tertentu di media sosial. Sebelum ada medsos hal ini dilakukan dengan berbagai media, terutama selebaran dan juga ada yang memanfaatkannya dengan menerbitkan media partisan dan dadakan yang isinya menyerang lawan.

Gunanya, tak jauh-jauh untuk menimbulkan kesan buruk bagi lawan politiknya. Namun, seringkali upaya itu kebablasan. Sesat. Para pelakunya seolah sudah terbutakan oleh nafsu untuk meraih kekuasaan. Salah satu yang lahir dari nafsu buta itu adalah kabar hoaks. Ya, kabar bohong yang dihembuskan di dunia maya, dijadikan pilihan untuk menghantam lawan. Media sosial adalah wadahnya.

Parahnya para pengguna media sosial, memiliki sifat malas untuk mengkroscek informasi yang mereka dapatkan. Apakah benar atau tidak. User yang tidak cakap dalam menyaring informasi disebut dengan istilah clicking monkeys. Istilah clicking monkey ditujukan kepada mereka yang dengan riang gembira mengklik telepon selulernya untuk menyebarluaskan dengan layanan broadcast hoaks kesana kemari, meretweet atau memposting ulang di media sosial. Tanpa terlebih dahulu melakukan verifikasi, atau mengkroscek, apakah informasi yang mereka dapat dan bagikan sudah suatu kebenaran atau tidak.

Lalu, bagaimana caranya agar media sosial tak lagi menjadi ladang hoaks? Tak ada jalan lain, kecuali mematangkan literasi digital untuk menyadarkan perilaku netizen. Literasi berarti kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah. Pengertian literasi juga mencakup kemampuan untuk mengenali dan memahami ide yang disampaikan secara visual. Peran pemerintah sangat penting dalam memberikan pemahaman tentang kesadaran keselamatan dan kenyamanan penggunaan internet.

Selain itu, membangun kapasitas pengetahuan maupun kemampuan praktikal berinternet masyarakat Indonesia pada umumnya dan generasi milenial pada khususnya. Masyarakat memahami baik dan buruk, benar atau tidaknya informasi yang mereka sebarkan. Sedikitnya lima hal yang perlu diperhatikan dalam bermedia yaitu konsumsi umum, pastikan informasi itu benar dan bermanfaat untuk umum, jangan terpancing emosi, niat baik belum tentu berakhir baik, dan keburukan bukan untuk disebar. Jika pemahaman atau literasi kokoh, harapan memutus mata rantai hoaks, bisa terwujud.

Harus diakui bahwa media sosial membantu masyarakat mendapatkan informasi terkini, terupdate dan termurah. Pengaruhnya luar biasa. Bahkan juga mampu mengalahkan pengaruh media mainstream. Pun demikian, praktisi komunikasi Bagus Sudarmanto jauh-jauh hari sudah memperingatkan bahwa dunia media sosial adalah ruang publik yang penuh tipu daya menyesatkan. Dunia media sosial adalah kehidupan maya yang berdampak nyata.

Desember 2019