Haluan dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Dalam beberapa waktu terakhir, Pol PP Kota Padang bersama instansi terkait makin meningkatkan intensitasnya menggelar razia tempat yang diduga mengadakan dan melayani praktik prostitusi. Namun, tindakan yang diambil, seperti lazimnya yang sudah-sudah, hanya menyasar kelompok perempuan.

Hal ini seperti menguak keprihatinanan publik bahwa aturan itu terkesan berat sebelah.

Kenapa berat sebelah? Tentunya dipicu oleh penindakan yang tidak “menyentuh” di pria hidung belang.

Polemik pemenjaraan pria hidung belang ini muncul lagi setelah perempuan yang diduga terkait dengan praktik tersebut, tentunya ‘dipesan’ oleh pria yang lawan mainnya. Namun seperti yang diketahui publik, si pemesan bebas dari jerat hukum karena memang tidak ada aturan yang bisa menjeratnya.

Dilepasnya pemesan inilah yang menjadi perdebatan. Di satu sisi, masyarakat ingin pemesan juga dihukum.

Sebab, praktik prostitusi tidak berjalan sendiri. Ada penyedia, dan ada pemesannya.

Sudah selayaknya, jika dihukum, kedua-duanya kena. Tidak hanya penyedia jasa saja. Aturan yang berlaku saat ini dianggap timpang dan tidak adil serta cenderung diskriminatif.

Pemerintah diminta membuat regulasi yang seimbang, agar semua pelaku mendapatkan sanksi pidana atas apa yang diperbuat. Caranya, tentu memasukkan pasal baru yang menjerat pria hidung belang di dalam Rancangan Undang- Undang (RUU) KUHP.

Sebenarnya, pemerintah sudah menentukan sikap terkait RUU KUHP yang akan mengatur pidana ‘pria hidung belang’. Sikap itu tertulis dalam nota jawaban yang tertuang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 132/PUUXIII/ 2015. Beleid itu tertuang pada Pasal 483 ayat (1) huruf e yang berbunyi: ‘Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun lakilaki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan’.

Selanjutnya, dikuatkan oleh rancangan pasal baru itu akan menggantikan Pasal 296 KUHP yang berbunyi: Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

Namun, ada kelemahan dari pasalpasal tentang delik kesusilaan. Pasalpasal tentang delik kesusilaan itu hanya bisa menjerat orang yang berprofesi memasarkan prostitusi, sedangkan pelaku dan pengguna jasa prostitusi tidak termasuk di dalamnya. Kalau pun bisa dikenakan, itu kepada pasangan suami istri yang terbukti melakukan per perzinaan.

Dengan catatan, pasangan dari pelaku mesti melapor. Deliknya juga delik aduan. Penegak hukum tidak bisa memproses pelaku tanpa ada laporan.

Kehebohan prostitusi artis sebenarnya menjadi momentum bagi pemerintah, termasuk DPR dan penegak hukum untuk merampungkan aturan yang bisa menjerat hidung belang. Pemerintah mesti cekatan, DPR semestinya juga sigap dalam mengesahkan aturan, sehingga aparat hukum bisa leluasa menggunakan aturan yang ada untuk penegakan hukum yang seimbang dan tidak diskriminatif.

Desember 2019