Haluan dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Indonesia terletak di tengah-tengah Pacific Ring of Fire (Cincin Api Pasifik).

Sesuai laporan U.S. Geological Survey (USGS), daerah ini diklaim sebagai sabuk gempa bumi terbesar di dunia karena memiliki banyak sesar atau zona rekahan yang memanjang sekitar 40 ribu kilometer mulai dari Chile, Jepang, dan kemudian berhenti di Asia Tenggara. Indonesia berada di sana. Itulah sebabnya negeri ini saban waktu diguncang gempa.

Penyebab Indonesia rawan gempa dan banyak memiliki gunung api tidak hanya dari Cincin Api Pasifik. Masih ada Sabuk Alpide yang merupakan jalur gempa paling aktif nomor dua di dunia, yang turut menyumbang faktor rentan gempa bumi Indonesia. Selain itu letak Indonesia berada di antara tiga lempeng. Yaitu Lempeng Eurasia di utara, Indo Australia di Selatan dan Pasifik di Timur, menghasilkan lebih dari 70 sesar aktif dan belasan zona subduksi yang menyebabkan hampir setiap hari daerah-daerah di Indonesia diguncang gempa.

Gempa bumi biasanya terjadi di sepanjang patahan. Sekitar 90 persen semua gempa bumi di dunia, dan 80 persen gempa bumi terbesar di dunia terjadi di sepanjang Cincin Api Pasifik.

Selain itu, Cincin Api Pasifik juga menjadi rumah bagi 75 persen gunung api yang ada di Bumi. Menurut National Geographic.

Indonesia sendiri dilaporkan memiliki 129 gunung api yang masih aktif, yang beberapa di antaranya pernah meletus yang berdampak pada Bumi dan manusia.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat tren bencana di Indonesia sejak 2009 hingga 2019 terus meningkat. Baik bencana tsunami, gelombang pasang, tanah longsor, letusan gunung api, kebakaran hutan dan lahan, puting beliung, gempa bumi, kekeringan dan banjir, dan sebagainya.

Meski menjadi sarang bencana, namun upaya pemerintah dalam melakukan mitigasi baru ala kadarnya. Sadar bencana dan mitigasi hanya slogan belaka. Itu tergambar dari minimnya anggaran pencegahan dan penanggulangan bencana yang disisipkan di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Saking seretnya anggaran bencana, Ketua DPR RI periode sebelumnya, Bambang Soesatyo sempat menggerutu. Banyak pemerintah daerah yang anggaran kebencanaannya di bawah satu persen. Ini mengkhawatirkan.

Mestinya, jika memang sadar bencana, pemerintah memberikan perhatian serius soal kebencanaan. Perhatian itu tentu disiratkan dengan penggelontoran anggaran yang memadai. Jika anggaran bencana saja tak sampai satu persen, bagaimana mungkin bisa dipercaya kalau upaya pencegahan dan penanggulangan bencana benar-benar serius diterapkan.

Mengabaikan mitigasi bencana, sama saja dengan membiarkan negeri ini bangkrut. Sebab, sudah jamaknya, setiap bencana menimbulkan kerugian tak sedikit. Korban berjatuhan, harta benda melayang dan infrastruktur rusak.

Pemerintah pusat mesti bertegas-tegas ke bawah dan menekan pemerintah daerah untuk memastikan anggaran bencana memadai. Kalau perlu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberlakukan aturan seperti anggaran pendidikan, yang wajib diakomodir 20 persen dari APBD.

Bagi daerah, apalagi yang rawan bencana, tapi tidak mengakomodir anggaran bencana secara memadai, beri sanksi. Misalnya, potong Dana Alokasi Khusus (DAK) atau Dana Alokasi Umum (DAU).

Desember 2019