Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

APAKAH hasil diskursus rencana pemindahan ibu kota pemerintahan Republik Indonesia dari Jakarta? Sejauh ini baru satu. Yakni setiap wacana pemindahan, maka harga tanah di lokasi baru itu langsung melejit. Kalau hasil lainnya masih nol, masih di awang-awang.

Di era Presiden Jokowi saja, setidaknya sudah tiga kali terungkap wacana pemindahan ibukota. Dalam tiga kesempatan itu, umpamanya, harga tanah di Palangka Raya langsung meroket. Mungkin juga begitu di Penajam Paser Utara atau di Tanah Bumbu.

Lalu, seriuskah pemerintah memindahkan ibu kota? Serius, tapi dalam tataran wacana. Berkali-kali diskusi soal pemindahan ibu kota, berkali-kali penelitian dilakukan, tebal-tebal hasil kajian soal rencana itu. Tapi, dia masih jalan di tempat: tetap wacana.

Rencana pemindahan ibu kota sebenarnya sudah mulai mencuat pada dekade 1960-an. Tapi, sebagaimana sekarang, kita pun ragu, apakah saat itu juga jadi rencana serius. Itu berawal dari peresmian Kota Palangka Raya di Kalimantan tengah dan saat itu Bung Karno menyebut layak jadi ibu kota masa depan.

Secara teknis geografis, daerah-daerah di Kalimantan itu cukup memenuhi syarat. Berada di luar jalur ring of fire, berada di lokasi yang cenderung datar, secara geografis berada di tengah-tengah Indonesia.

Rencana pemindahan itu harusnya bisa berjalan mulus jika pemerintah memberi perhatian khusus terhadap daerah-daerah tersebut. Tapi, faktanya apa? Daerah-daerah tersebut malah tak jadi perhatian untuk dikembangkan, sementara potensi sumber daya alam mereka dihisap terus.

Sekarang pun, pemerintah hanya ngegas soal wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta. Soal daerah mana yang akan menggantikan, masih kabur dan kerap berubah. Padahal, memindahkan ibu kota pemerintahan bukanlah pekerjaan mudah. Perlu waktu sekitar 10 tahun, perlu dana hingga Rp400 triliun, dan yang lebih penting lagi perlu kesungguh-sungguhan.

Kesungguhan itulah yang kita ragukan. Jika pemerintah sungguh-sungguh, maka kota pengganti Jakarta itu sudah kian mengerucut, bukan malah melebar seperti sekarang. Jadi, sejauh ini kita menganggap ini sebagai wacana angin surga saja.

Mei 2019