Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

SELAIN pengumuman pemenang Pemilihan Presiden 2019 yang dilakukan KPU pada Selasa (21/5) dinihari, seharian kemarin jagad politik dipenuhi informasi SPDP untuk dugaan kasus makar Eggi Sudjana dengan Prabowo Subianto sebagai terlapor.

Surat perintah dimulai penyidikan itu diterima pihak Prabowo pada dinihari. Tapi, siangnya, polisi kembali menarik surat itu. SPDP itu dikeluarkan 17 Mei 2019, dikirim ke Kejaksaan Tinggi, dan kemudian dicabut.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono, sekurang-kurangnya menyebut dua alasan pencabutan. Pertama, Prabowo tokoh bangsa yang harus dihormati. Kedua, belum waktunya menerbitkan SPDP. Nama Prabowo hanya muncul dari keterangan Eggi dan Lieus Sungkharisma.

Peristiwa ini cukup menghebohkan. Mungkin juga karena situasi politik terkait Pilpres yang mencapai puncaknya pada hari tersebut.

Dalam kaitan ini, apa yang dilakukan penyidik kepolisian, kita anggap sebagai sebuah tindakan yang teledor. Dalam sistem hukum, pengakuan saja tidaklah cukup dijadikan sebagai alat bukti. Kalau benar nama Prabowo tersangkut hanya karena disebut Eggi dan Lieus, belumlah cukup untuk mengawali penyidikan.

Kita apresiasi polisi mengoreksi keputusan tersebut. Tetapi, patut kita pertanyakan pula, bagaimana keteledoran itu bisa terjadi. Hemat kita, hal semacam itu tak patut terjadi. Bukan hanya dari sisi hukum, melainkan juga sosiologis suasana politik.

Sampai sekarang pun, sebagian publik masih bersilang pendapat, apakah patut menerapkan pasal makar terhadap sejumlah politisi yang ditahan polisi. Apakah tindakan-tindakan politisi itu sudah memenuhi unsur-unsur makar seperti yang tertera dalam undang-undang, tentu harus dibuktikan secara hukum. Satu hal yang tak bisa dipungkiri, sebagian pihak menyebut tuduhan makar itu berlebihan.

Dalam kondisi “politik panas” seperti ini, tentu polisi dituntut ikut menjaga suasana agak tidak makin panas. Polisi pernah melakukan itu. Bahkan, polisi pula yang mengusulkan penundaan proses laporan terhadap calon kepala daerah ketika proses pilkada sedang berjalan.

Kita berharap, polisi arif dan bijaksana dalam menangani kasus-kasus besar ini agar tak berdampak “lebih panas” terhadap situasi politik saat ini. “Keteledoran” seperti yang dilakukan penyidik, kita sarankan, patut menjadi perhatian dan penanganan yang serius di dalam institusi kepolisian. (*)

Mei 2019