Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Ada yang agak aneh setiap Persib Bandung selesai bermain, apalagi kalau kalah. Biasanya, hal pertama yang terevaluasi adalah wasit, lawan, penonton lawan, dan sebagainya. Padahal, bukankah seharusnya yang pertama dievaluasi adalah Persib sendiri! Dalam konteks olahraga, mengevaluasi di luar diri sendiri itu, kerap disebut mencari kambing hitam. Itu sikap yang tidak baik. Tidak sempurna memaknai sportivitas dan fairness.

Padahal, Persib itu bukan sesuatu yang sempurna. Dia memiliki kelemahan. Banyak kelemahan malah. Karena itu, semestinya itu dulu yang harus dievaluasi. Evaluasi ke dalam, bukan keluar.

Misalnya begini, Persib itu sudah main 11 kali di kompetisi musim ini. Sudah “seperempat musim”. Posisi Persib jauh dari harapan: peringkat ke-11. Tertinggal 12 poin dari Bali United. Harapan untuk meraih gelar juara sangat tipis, meski masih ada 23 pertandingan lagi.

Tidak hanya dari data statistik, dari permainan pun Persib tak meyakinkan. Cenderung monoton. Terlalu mengandalkan serangan dari sayap dengan umpan-umpan silang yang gampang dibaca. Ya, gampang, karena sasaran umpan silangnya hanya satu: Ezechiel N’Douassel.

Kenapa bisa seperti itu? Semestinya itu yang harus dievaluasi. Evaluasi kemampuan pelatih, evaluasi kebijakan manajemen. Robert Rene Alberts memang pelatih bernama besar, tapi dalam sepak bola, nama besar saja tidak cukup untuk menghadirkan prestasi.

Betulkah Alberts kesulitan karena ditunjuk dalam hitungan hari menjelang kompetisi dan sudah disediakan pemain yang tak bisa dikutak-katik? Maka, manajemen Persib, termasuk direksi-direksi PT Persib Bandung Bermartabat harus juga mendapat evaluasi. Mereka ikut bertanggung jawab dalam hal ini.

Atau, mungkin perlu pula mengevaluasi struktur dan komposisi direksi PT PBB? Misalnya, menempatkan seorang direktur sport yang betul-betul mengerti sepak bola, seperti yang lazim dilakukan klub-klub modern di berbagai belahan dunia? Evaluasi-evaluasi semacam itu menjadi lebih bermakna ketimbang mengevaluasi wasit, lawan, atau (teror) suporter lawan? Sebab, jika hanya mau mengevaluasi faktor eksternal seperti itu, bukankah nanti ada pula yang menjawab: memangnya Persib tak pernah dapat keuntungan dari keputusan wasit? (*)

Agustus 2019