Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Beruntunglah negeri ini punya Haedar Nasir. Di tengah suasana Idul Adha, dia mengumandangkan makna pentingnya berkurban. Berkurban tak hanya soal harta, melainkan jiwa. Tepatnya kurban politik.

Pernyataannya sangat kontekstual di tengah hiruk-pikuk politik negeri ini pasca Pemilihan Presiden 2019. Ketua PP Muhammadiyah ini mengungkapkan betapa pentingnya kurban elit politik untuk satu tujuan: kemaslahatan negeri dan bangsa ini.

Di tengah Idul Adha, kita mendengar kepala negara berkurban sapi di sana-sini, gubernur berbagi kurban, bupati dan wali kota menyumbanng hewan kurban di wilayahnya. Banyak partai politik pun memotong puluhan hewan kurban.

Itu bagus-bagus saja. Tapi, lebih sempurna lagi jika pengorbanan mereka adalah juga dalam bentuk “kurban politik”. Apa itu? Mengorbankan ego politik, mengabaikan kepentingan pribadi dan golongan politik, demi Indonesia yang maslahat.

Setelah Pemilihan Presiden selesai, dengan melahirkan Joko Widodo-Maruf Amin sebagai presiden-wakil presiden terpilih, maka kini elit politik menunjukkan kerakusannya dengan berebut kursi menteri. Tidak hanya partai politik, bahkan juga sejumlah ormas.

Mereka sama-sama merasa berjasa mengantar kemenangan Jokowi-Maruf. Merasa paling berkeringat. Karena itu, keringat mereka harus dibayar dengan kursi kekuasaan. Sungguh, dengan begitu, publik kemudian mengetahui makna apa sesungguhnya di balik dukungan itu.

Ironisnya lagi, semua itu dipertontonkan di depan publik. Tanpa malu-malu. Mengabaikan moralitas politik. Atau, jangan-jangan politik itu memang tak bermoral sama sekali? Politik itu punya moral. Jika sering terlihat tanpa moral, maka yang tak punya itu sejatinya adalah pelakunya. Dia perlu dibersihkan. Dengan cara apa ? Berkurban.

Nabi Ibrahim,ribuan tahun lalu, telah menunjukkan makna berkurban itu. Jika perintah untuk kemaslahatan sudah datang, dia bersedia mengorbankan anak kesayangannya sendiri, Ismail.

Bagi partai politik dan politisi, “anak kesayangan” itu bukanlah sapi, kerbau, atau sapi. “Anak kesayangan” itu adalah apa yang disebut sebagai kekuasaan. Adakah politisi dan partai politik yang berani mengurbankannya demi Indonesia mjau? Haedar Nasir dan ormas yang dia pimpin, sudah menunjukkan jalan ke arah itu. Maka, yang diperluikan hanyalah bagaimana mengikuti jejak langkah mereka, berkurban politik demi kemaslahatan bangsa. (*)

Agustus 2019